Home Berita Mendorong Pemerintah Memenuhi Hak Korban Terorisme
Berita - 27/10/2016

Mendorong Pemerintah Memenuhi Hak Korban Terorisme

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyelenggarakan koordinasi nasional untuk mendorong pemenuhan hak-hak korban terorisme di Jakarta, Selasa (25/10/2016). Dalam kegiatan hasil kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan UNODC (kantor PBB untuk urusan narkotika dan tindak kejahatan) tersebut, LPSK mengundang segenap kementerian dan lembaga terkait untuk mewujudkan kehadiran negara kepada korban terorisme.

Semua pihak yang hadir dalam kegiatan mengakui selama ini pertanggungjawaban negara kepada orang-orang yang menjadi korban teror belum optimal. Secara khusus tentang kompensasi, LPSK menyadari hingga kini hak korban yang tercantum dalam Pasal 36 UU No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu belum pernah terbayarkan.

Musababnya, mekanisme pemberian kompensasi dari pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan kepada korban terorisme mengharuskan adanya putusan pengadilan, yakni pengadilan terdakwa pelaku terorisme. Permasalahan muncul lantaran berbagai pengadilan kasus teror sejak Bom Bali 2002 tidak mencantumkan pemenuhan hak-hak korban dalam putusannya. Satu putusan dalam pengadilan terdakwa pelaku teror Bom JW Marriott 2003 atas nama Masrizal alias Tohir, di situ disebutkan negara wajib memberikan kompensasi kepada para korban. Sayangnya, tidak jelas pula siapa-siapa yang disebut korban.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan bahwa masih banyak persoalan dalam pemenuhan hak kompensasi. “Apalagi jika yang terjadi adalah pelaku teror tewas di lapangan, maka proses peradilan tidak bisa berlangsung dan hak para korban tidak bisa terpenuhi,” kata dia.

Berdasarkan aturan UU yang ada saat ini, korban terorisme bisa memperoleh kompensasi dari pemerintah apabila mengajukan gugatan melalui jaksa penuntut umum dalam proses peradilan pelaku teror. Korban atau ahli warisnya bisa mengajukan gugatan secara langsung atau melalui kuasa hukum ke jaksa penuntut umum. Dengan begitu, majelis hakim memiliki dasar untuk membuat putusan yang menyebutkan korban berhak mendapatkan kompensasi.

Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, sebagai narasumber dalam kegiatan siang itu menyampaikan pemberian kompensasi kepada korban teror melalui mekanisme putusan pengadilan sebagai aturan yang tidak realistis. “Asas bantuan kepada korban membutuhkan kecepatan. Tidak mungkin negara ini menunggu ada vonis pengadilan untuk memberikan haknya para korban,” ujarnya.

Dari itu, Hasibullah mengajak seluruh pihak terkait untuk bersama-sama mengawal revisi UU No. 15/2003 yang sedang digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar mengubah mekanisme pemberian kompensasi kepada korban terorisme, sehingga nasib korban tidak lagi seolah-olah bergantung pada proses pengadilan pelaku teror.

Selain itu, Hasibullah menyoroti hal lain yang perlu diperbaiki dalam UU tersebut terkait pemenuhan hak korban terorisme. Ia mendorong pemerintah dan DPR membuat pasal yang mengatur tentang jaminan penanganan medis korban pada masa-masa kritis. Berdasarkan pengalaman AIDA mendampingi korban, kata dia, rumah sakit enggan memberikan pelayanan medis kepada korban bila belum ada jaminan pembiayaan dari pemerintah atau pihak keluarga korban.

Ia berpandangan, negara harus menempatkan urusan penanganan korban terorisme layaknya korban bencana. “Harus ada anggaran pemerintah yang standby apabila sewaktu-waktu terjadi aksi teror dan memakan korban. Bila aturan dibuat jelas di UU, akan tercipta sistem penanganan medis korban teror secara otomatis, rumah sakit langsung akan paham. Dan, anggaran itu tidak boleh dipotong karena alasan penghematan,” Hasibullah menjelaskan.

Dalam kegiatan bertajuk Workshop on Supporting Measures to Strengthen the Rights and Role of Victims of Terorism Frameworks siang itu LPSK melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM.

Kerja sama LPSK dengan Kejaksaan Agung bertujuan untuk memperkuat hak-hak saksi dan korban pada proses penyidikan tindak pidana tertentu, dan pada proses penuntutan. Sementara itu, perjanjian kerjasama dengan Dirjen HAM bertujuan untuk memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia korban terorisme.

Menurut Ketua LPSK, kasus teror di Jl. MH Thamrin Jakarta (14 Januari 2015), yang persidangan pelakunya sudah mulai berjalan, akan menjadi preseden baik apabila dalam putusannya nanti mencantumkan pemenuhan hak kompensasi dari negara kepada para korban. Untuk itulah dalam workshop sehari itu LPSK menggandeng Kejaksaan Agung agar jaksa penuntut umum dalam setiap persidangan kasus terorisme mengajukan tuntutan pemenuhan hak-hak korban.

“Perjanjian kerjasama tersebut juga sebagai pencerminan pemenuhan hak dan kebutuhan korban tidak pidana, khususnya korban tindak pidana terorisme,” kata Abdul Haris Semendawai.

Meningkatnya kesadaran para pemangku kebijakan tentang hak-hak korban terorisme dalam kegiatan di sebuah hotel di kawasan Senen Jakarta Pusat siang itu menjadi angin segar bagi penyintas.

“Dari awal kami berjuang untuk dapat bertahan atas sakit dan derita yang kami terima. Kami pun selalu berharap dan berjuang untuk mendapatkan sesuatu baik itu pengobatan maupun kompensasi atas musibah yang kami derita,” kata Sucipto Hari Wibowo, Ketua Yayasan Penyintas Indonesia. (MLM) [SWD]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *