Masih Banyak Orang Baik
Sebenarnya hari itu tidak tahu kenapa malas banget untuk kuliah. Sampai pukul dua pagi mata ini tidak mau juga merem. Sementara pukul lima sudah harus bangun buat menyiapkan perlengkapan Acha, anakku, terus berangkat kuliah. Mengingat dua kuliah sebelumnya sudah absen, mau nggakmau, suka nggak suka, berangkat juga kuliah. Sempat minta adikku untuk mengantarkan kuliah, tapi dia malas akhirnya berangkatlah sendirian ke kampus.
Pukul 10.20 aku sudah sampai di depan Pasar Festival. Tumben banget Kopaja yang aku tumpangin tidak mangkal dulu di depan Pasar Festival. Pukul 10.25 Kopaja mulai bergerak pelan di depan Plaza 89. Aku pun bersiap-siap untuk turun. Tiba-tiba aku merasakan mobil Kopaja itu terhempas melaju dengan cepat. Aku mendengar orang-orang berteriak Allahu Akbar. Aku nggakingat dengar suara ledakan, yang aku ingat cuma suara mendesing yang sangat keras dan menyakitkan telingaku.
Belakangan aku baru tahu kalau gendang telingaku sobek. Masih dalam Kopaja, aku melihat luka menganga pada punggung telapak tanganku. Aku bisa melihat tulangku pada saat itu. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, aku terdorong jatuh keluar dari Kopaja beserta beberapa penumpang lainnya. Aku langsung bangun dan minta tolong sama orang yang ada di dekat sana, oleh tukang ojek aku diantar ke Rumah Sakit MMC. Sepanjang jalan menuju rumah sakit yang nggak begitu jauh letaknya dari tempat kejadian aku melihat suasananya begitu kacau. Asap dimana-mana, alarmmobil saling bersahutan, semuanya terasa begitu mengerikan!
Sepanjang perjalanan, aku nggak henti-hentinya berdoa semoga semuanya baik-baik saja. Yang aku pikirkan cuma anakku dan ibuku. Aku meminta untuk diberi kesempatan untuk dapat melihat anakku tumbuh besar. Saat itu aku begitu takut untuk meninggalkan anakku dan ibuku.
Sesampainya di rumah sakit, lukaku langsung ditutup perban dan aku dipindahkan ke basement rumah sakit bersama beberapa orang yang mengalami luka ringan. Aku bilang ke petugas yang lewat kalau jariku hampir putus dan aku pun dipindahkan ke UGD, karena suasana di sana sangat kacau. Aku dipindahkan ke Rumah Sakit Medistra supaya bisa segera ditangani. Kepindahan aku ini nggak diketahui oleh staf rumah sakit yang lain, sehingga keluargaku sempat mengalami kesulitan mencariku, karena di sana ada namaku, tapi akunya nggak ada. Bahkan kakak sepupuku terpaksa memeriksa tiap kantong mayat yang ada untuk mencari aku.
Sampai Rumah Sakit Medistra aku langsung di rontgendan langsung dibawa ke kamar operasi. Saat menunggu persiapan operasi, aku sempat bertemu keluargaku, senangnya bukan main melihat mereka. Setelah itu aku lupa sama semuanya. Badan ini rasanya begitu letih.
Aku terbangun sudah berada di ruang ICU. Tanganku di perban dan yang pertama aku lihat adik papaku di ruangan itu. Kemudian aku dipindahkan ke ruang perawatan. Aku bertemu dengan ibuku, ayahku, adik-adikku dan keluargaku yang lain. Saat itu aku baru tahu kalau di depan Kedutaan Besar Australia ada bom. Tanganku terluka, beberapa ruas tulang telunjuk dan ibu jariku terpotong benda tajam.
Aku di rawat selama sebulan di Rumah Sakit Medistra. Silih berganti orang-orang datang menjenguk, baik yang aku kenal maupun tidak. Mereka semua memberikan dukungannya supaya aku kuat dan tetap tegar dengan cobaan ini.
Di suatu kesempatan, aku mendapat kunjungan dari chiefnya Ausaid dan beberapa stafnya. Aku lupa namanya siapa dan beliau menawarkan bantuan pengobatan ke Australia. Aku begitu terharu menerima tawaran itu. Karena terus terang pada saat itu keluargaku rasanya tidak akan mampu untuk membiayai pengobatanku. Singkat cerita, setelah melalui beberapa proses keberangkatan tanggal 5 Oktober 2004 aku diberangkatkan ke Perth, Australia beserta anak, orangtua dan suamiku.
Selama di sana aku menjalani enam kali operasi rekonstruksi tulangku. Aku sempat merasa down di awal kedatanganku ke Perth. Yang awalnya aku akan di antar ke apartemen terlebih dahulu, ternyata malam itu juga aku harus masuk rumah sakit dan tidak boleh ditungguin. Setelah melewati serangkaian tes, keluargaku di antar ke apartemen dan aku di tinggal sendirian di rumah sakit bersama orang asing yang bahasanya berbeda dengan aku. Dan itu belum seberapa. Pagi harinya tim dokter datang ke ruanganku. Mereka berkata kalau sebaiknya ibu jari aku diamputasi supaya kerja telunjukku bisa maksimal. Mereka juga bilang kalau ibu jariku nantinya sedikit banyaknya akan mengganggu aktifitas aku. Dunia rasanya runtuh saat itu. Aku pikir kalau hanya untuk diamputasi, untuk apa aku dikirim jauh-jauh kemari? tapi aku berusaha untuk kuat, berusaha untuk nggak cengeng di depan keluargaku. Walaupun sedih dan kecewa, aku percaya kalau Allah punya rencana baik untukku sampai aku dikirim ke sana.
Sorenya aku bertemu kepala tim dokter aku. Beliau membawa kabar baik untukku. Beliau bilang kalau ibu jari aku tidak perlu diamputasi. Alhamdulillah, walaupun nantinya bentuk dan fungsinya tidak seperti sebelumnya, aku begitu senang mendengarnya karena rasanya akan berat buatku di Indonesia ini dengan anggota tubuh yang nggak lengkap.
Saat-saat yang paling berat selama aku di sana adalah ketika menjalani terapi untuk mengembalikan fungsi jari-jari dan tanganku. Rasanya begitu tersiksa! ingin rasanya menangis tiap kali aku harus terapi. Tapi aku nggak mau melihat orangtuaku tambah sedih. Walaupun mereka selalu menyemangatiku, tapi aku tahu kalau mereka sedih melihat keadaanku dan aku nggak mau menambah kesedihan mereka dengan meneteskan air mata di depan mereka.
Satu kejadian lagi yang membuat aku begitu terpukul adalah pada saat aku mendapat kabar kalau Mutia, salah satu penumpang Kopaja meninggal dunia. Aku sempat menjenguk dan berkenalan dengannya waktu kita sama-sama di rawat di Rumah Sakit Medistra. Pada saat kejadian dia berdiri tepat di belakang aku. Aku nggak ngebayang kalau aku yang ada di belakang dia. Itulah yang bikin aku menangis sejadi-jadinya ketika tahu dia sudah tidak ada.
Akhirnya di bulan April 2005, aku pulang ke Jakarta. Pengobatanku sudah selesai. Aku hanya perlu menjalani satu kali operasi enam bulan ke depan dan terapi di Jakarta selama aku menunggu operasiku yang terakhir.
Ada begitu banyak kejadian dan pelajaran yang aku dapat akibat peristiwa bom itu. Aku dikasih kesempatan untuk bertemu dan berkenalan dengan banyak orang dan berbagai karakter. Selama ini aku termasuk orang yang cuekdengan sekelilingku, terutama dengan orang yang nggak aku kenal. Tapi pada saat aku mengalami musibah, begitu banyak orang yang nggakaku kenal mau menolong aku dengan sukarela tanpa mengharapkan apapun, mau mendoakan dan menyemangati aku untuk selalu kuat menghadapi cobaan ini, terutama saat aku ada Perth. Sejak itu aku selalu berusaha untuk lebih bisa berempati dan lebih peduli dengan orang lain.
Perbuatan teror bom itu sangat jahat dan kejam! Banyak orang yang nggak salah apa-apa yang jadi korban. Aku percaya ini semua merupakan takdir dari Allah, dan aku juga percaya masih banyak orang baik di luar sana yang mau memberikan pertolongannya pada saat kita membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan apapun. [SWD]
Oleh: Nanda Olivia Daniel
Penyintas Bom Kuningan 2004
Tulisan ini pernah dimuat di Newsletter Suara Perdamaian edisi III, Januari 2015