Lima Agustus Dua Ribu Tiga
Lima Agustus Dua Ribu Tiga
Hari itu……
Lima Agustus Dua Ribu Tiga
Kala siang terik menjelang
Sang Bagas tepat berdiri di atas ubun-ubun kepala
Ketika anak-anak Adam berlalu lalang
Sedang sibuk mencari ridho Sang Khalik
Tiba-tiba……
Terdengar suara menggelegar memekakkan telinga
Semburat merah menyala api membubung
Asap hitam terbang tinggi dan jelaga berjatuhan
Untuk sesaat suara hilang, sunyi senyap menyergap
Gendang telinga habis tanpa mendengar apa-apa
Mata nanar, sayu, lalu redup
Nafas tersengal-sengal, paru-paru tercekik
Jantung berlari kencang memburu mangsa darah dan oksigen
Ada apa……
Apa Tuhan sedang murka
Sudahkah waktunya hari akhir datang
Ya Tuhan, makhluk-Mu sedang terguncang
Berlarian…
Berteriak-teriak…
Menjerit…
Tergeletak…
Meregang nyawa…
Diriku……
Bagaimana dengan diriku
Kaget, bingung, bisu, tuli
Terlempar…. oleh angin panas yang menderu
Menghancurkan apa saja yang dilewatinya
Jatuh rubuh tak berdaya, terbakar dan hancur
Oh Tuhan Yang Maha Perkasa
Apa kiamat waktunya telah datang
Tidak…
Bukan…
Ternyata kekuatan kebencian yang datang
Perbedaan sikap dan pandangan yang menunjukkan bengisnya
Panji-panji bendera pemikiran sempit yang menghancurkan
Atas nama itu semua mereka merasa benar dan sah
Untuk memusnahkan yang berbeda suku
Untuk menghancurkan yang tidak sama keyakinan
Untuk membinasakan yang memiliki ras lain
Untuk membunuh perbedaan antargolongan
Dan aku……
Hanyalah korban, sia-siasalah sasaran
Tergeletak, hancur, remuk redam seluruh tulang
Dan hangus terbakar kulit badan
Sunyi, senyap, bisu, tuli dan tanpa harapan
Atas nama Kebenaran yang palsu
Atas nama Perjuangan yang salah tujuan
Atas nama Keyakinan tanpa tolerasi
Hancurlah kehidupan ini….
Pada hari itu……
Lima Agustus Dua Ribu Tiga
Perdamaian telah terkoyak
Rasa Kemanusiaan tercabik-cabik
Toleransi, kerukunan, pengertian, kasih sayang, rasa hormat hancur berkeping-keping
Semoga itu semua adalah yang terakhir…
Kita hidup bersaudara sebangsa setanah air
Kita hidup berdampingan atas nama perdamaian di seluruh muka bumi ini…
Salam damai untuk semuanya……
Kediri, 18 Juni 2016
Puisi ini ditulis oleh korban aksi teror bom di Hotel JW Marriott Jakarta, 5 Agustus 2003, Didik Hariyono. Akibat ledakan bom ia mengalami patah tulang di bagian kanan tubuhnya, dari tulang belikat di bahu hingga kaki dan luka bakar sekitar 65 persen di sekujur tubuhnya. Ia menjalani perawatan di rumah sakit selama kurang lebih 10 bulan, dengan 17 kali operasi secara bertahap. Bertahun-tahun Didik harus menjalani terapi dan mengonsumsi obat. Ia memutuskan berhenti dari perawatan pada tahun 2007, empat tahun setelah tragedi Bom JW Marriott. Kini Didik bekerja sebagai pegawai di kampung halamannya di Kediri, Jawa Timur.