Home Berita Salam Tangguh dan Damai dari Malang
Berita - 25/11/2016

Salam Tangguh dan Damai dari Malang

Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menyelenggarakan safari kampanye perdamaian di lima SMA Negeri di Malang, Jawa Timur. Dalam kegiatan bertajuk “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” itu para pelajar berkomitmen untuk menanamkan ketangguhan diri dan menjadi duta perdamaian di sekolah.

Keteguhan sikap arek-arekMalang menjadi generasi damai nan tangguh muncul dan menguat setelah berbagi pengalaman dengan Tim Perdamaian AIDA yang terdiri atas unsur korban dan mantan pelaku aksi kekerasan. Dari pengalaman korban aksi kekerasan, para pelajar menyerap ilmu betapa pembangunan dan kemajuan hidup tidak dapat terwujud tanpa adanya perdamaian. Mereka juga mendapatkan pelajaran berharga tentang pentingnya memiliki sikap gigih dan tangguh guna menghadapi tantangan kehidupan. Sementara itu dari kisah hidup mantan pelaku aksi kekerasan, kawula muda Malang memetik hikmah bahwa jalan kekerasan tidak pernah menghasilkan perbaikan dalam kehidupan tetapi justru menimbulkan kerugian.

Safari Tim Perdamaian AIDA ke lima sekolah di Malang merupakan lanjutan dari kegiatan serupa yang pernah digelar di Klaten, Tangerang Selatan dan Lamongan. Tujuan acara tersebut adalah menanamkan kesadaran akan pentingnya tradisi cinta damai dalam diri generasi muda di Malang. Selain itu, melalui kegiatan ini diharapkan muncul semangat ketangguhan untuk menjalani pasang surut kehidupan di dalam jiwa para pelajar di kota penghasil apel itu.

Terhitung 248 pelajar dari SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4 dan SMAN 5 Kota Malang menyambut acara dialog interaktif yang dilaksanakan pada 21-27 Agustus 2015 dengan antusiasme tinggi. Mereka mengikuti setiap tahapan kegiatan secara aktif dan penuh penghayatan. Para siswa terlihat asyik dan sibuk mengikuti permainan yang dipandu oleh fasilitator AIDA, Farha Ciciek Assegaf dan Agus Muhammad. Pada sesi dialog, banyak siswa melontarkan pertanyaan atau tanggapan mengenai pengalaman hidup Tim Perdamaian AIDA dalam berkontribusi mensukseskan pembangunan Indonesia yang damai.

“Saya kagum dengan bapak-bapak dan ibu-ibu korban sekaligus bertanya-tanya kok bisa memaafkan kesalahan para pelaku tindak kekerasan dan terorisme, atau kok tidak punya dendam ke mantan pelaku dan malah sekarang menjadi satu tim mempromosikan perdamaian,” kata salah satu siswa SMAN 3 saat kegiatan berlangsung.

Anggota Tim Perdamaian AIDA, Tita Apriyantini, menjawab keheranan siswa itu dengan penjelasan singkat. “Kalau saya melakukan hal yang sama kepada mereka yang melukai saya lalu apa bedanya saya dengan mereka. Bagi saya kekerasan tidak semestinya dibalas dengan kekerasan. Itu bukan jalan yang benar untuk menyelesaikan masalah,” ujar wirausahawan muda yang menjadi korban Bom JW Marriott pada 5 Agustus 2003 itu.

Pada kegiatan kampanye perdamaian di SMAN 2, anggota Tim Perdamaian AIDA lainnya, Iwan Setiawan, berdiskusi dengan para siswa tentang hakikat ketangguhan. Iwan yang merupakan salah satu korban bom di depan Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004 berbagi kisah perjuangannya melawan penderitaan akibat aksi teror yang telah menghilangkan sebagian anugerah hidupnya. Kendati kehilangan penglihatan sebelah kanan secara permanen, ia tak patah arang melanjutkan cita dan harapan hidupnya bersama keluarga tercinta.

“Selain keikhlasan, kunci saya dalam hidup itu selalu menanamkan mental petinju dalam diri saya. Adik-adik tahu apa saja mental petinju? Betul sekali, tangguh, kuat, terus bangkit, pantang menyerah dan masih banyak lagi. Meskipun saya jadi korban bom, saya menolak untuk menjadi terpuruk karena peristiwa itu,” ujar Iwan saat menyampaikan presentasinya yang seketika disambut riuh tepuk tangan dari para siswa.

Cobaan yang mendera, lanjutnya, tidak boleh mengalahkan semangat hidup. Ia selalu meyakinkan diri bahwa masalah yang dihadapi tidak berarti apa-apa dibanding kebesaran dan kemampuan dirinya. Sarjana manajemen informatika salah satu universitas swasta di Jakarta itu punya cara unik untuk mengalahkan trauma dalam diri akibat tragedi bom yang menimpanya silam. Iwan yang kini menjadi entrepreneur bidang komputer menyematkan nama “Bombom Computer” sebagai identitas perusahaannya. “Bom itu kan besar, dahsyat, saya bercita-cita dan berdoa agar usaha saya Bombom Computer itu semakin besar, semakin maju,” ucapnya.

Menguatkan pesan para korban, anggota Tim Perdamaian AIDA dari unsur mantan pelaku kekerasan, Ali Fauzi, berbicara di hadapan siswa tentang pentingnya bersikap cerdas dalam menjalin pertemanan. Alasannya, kebaikan atau keburukan hidup sangat dipengaruhi oleh faktor persahabatan.  Selaku pribadi yang pernah terjalin dengan jaringan pelaku kekerasan pada masa lalu, Ali mengingatkan para siswa akan bahaya ajakan dan provokasi kelompok-kelompok radikal yang melegalkan kekerasan demi kepentingan mereka sendiri.

“Berlomba-lomba kelompok-kelompok itu ingin mengubah negara yang kita cintai ini dengan negara agama, benderanya bukan merah putih lagi, orang yang menghormat ke bendera merah putih mereka sebut kafir. Adik-adik harus punya sikap tegas dan cerdas melihat kelompok-kelompok seperti ini, sebab dalam perekrutannya mereka ini mengandalkan hubungan friendship (pertemanan) dan kinship(kekerabatan),” terang dia.

Salah satu siswi SMAN 4 ditemui usai kegiatan berkomentar bahwa ia tergugah untuk menebarkan semangat cinta damai setelah berdialog dengan Tim Perdamaian. Ia mengaku terinspirasi dan memetik banyak pelajaran dari para korban dan mantan pelaku aksi kekerasan. “Saya juga belajar bahwa segala sesuatu itu ada yang baik dan ada yang buruk. Dalam berteman kita harus pintar memilih atau menentukan teman seperti apa yang mau kita ajak berteman. Dan juga ada yang paling penting menurut saya, kalau kita tidak sependapat dengan sesuatu jangan memberikan respon dengan kekerasan,” kata dia.

Dalam safari kegiatan di Malang, Tim Perdamaian AIDA yang hadir adalah satu korban Bom JW Marriott, Tita Apriyantini, dua korban Bom Kuningan, Iwan Setiawan dan Sudarsono Hadisiswoyo, dua korban Bom Bali, Endang Isnanik dan Eko Sahriyono, serta seorang mantan pelaku aksi terorisme, Ali Fauzi. Pada setiap penyelenggaraan acara diskusi di masing-masing sekolah hadir sekira 50 siswa sebagai peserta diskusi. Mereka adalah representasi dari organisasi siswa intra sekolah (OSIS), rohaniwan Islam (Rohis), siswa berprestasi dan siswa berkebutuhan bimbingan khusus. Kepala sekolah dan jajaran guru turut mendampingi acara diskusi interaktif yang digagas AIDA. (MLM) [SWD]

 

Tulisan ini pernah dimuat di Newsletter AIDA, edisi VI Oktober 2015.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *