Mengukuhkan Visi Perdamaian dari Dalam Lapas
Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyelenggarakan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Bandung, Jawa Barat, awal Agustus lalu. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) tindak pidana terorisme melalui kisah korban.
Menurut Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, Lapas merupakan area strategis dalam upaya membangun perdamaian karena menjadi tempat berkumpulnya mantan pelaku terorisme yang menjalani masa pembinaan. “Di masa depan, WBP terorisme bakal kembali ke masyarakat. Dalam konteks ini, peran petugas Lapas sangat signifikan untuk membina WBP terorisme agar mereka tidak kembali kepada kelompok terorisme,” katanya.
Dalam kegiatan di kota berhawa sejuk itu, empat orang penyintas terorisme hadir untuk membagikan kisahnya kepada peserta, yaitu Sudirman (korban Bom Kuningan 2004), Didik Hariyono (korban Bom JW Marriott 2003), Bambang Jatmiko dan Ni Luh Erniati (korban Bom Bali 2002).
Bambang menuturkan, dirinya bersyukur tak mengalami luka berat akibat Bom Bali 2002, padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ledakan. Kendati hanya mengalami cedera ringan, Bambang merasakan perjalanan hidupnya menjadi berat usai tragedi teror. Sebab, sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot drastis. “Karena cuma kena luka ringan, saya tidak dapat santunan. Saya mungkin satu-satunya korban Bom Bali yang tak pernah mendapatkan santunan. Meskipun begitu, saya berusaha tetap kuat. Saya pernah menjadi kuli batu untuk bertahan. Sekarang saya berjualan nasi goreng di Denpasar,” kisahnya.
Didik Hariyono, korban Bom JW Marriott 2003, juga berbagi kisah dalam pelatihan. Akibat aksi teror itu, ia mengalami patah tulang belikat serta luka bakar di seluruh badan. Ia menjalani 17 kali operasi dan harus mengonsumsi obat selama empat tahun. “Terkadang saya bertanya-tanya apa yang dipikirkan teroris yang meledakkan bom itu koksampai tega membuat kerusakan, sampai tega membunuh orang-orang tak bersalah,” ucapnya.
Pelatihan selama dua hari itu dibuka oleh Pembina AIDA, Imam Prasodjo. Dalam sambutannya, Imam mengungkapkan ancaman kekerasan atas nama agama, termasuk terorisme, masih menghantui Indonesia. Para penebar kekerasan yang menghasut dan memprovokasi orang lain dengan justifikasi dalil-dalil keagamaan terus bermunculan. Padahal pada saat bersamaan korban terorisme masa lalu masih menanggung penderitaan. baik secara fisik maupun psikis. Sebagian dari mereka bahkan masih harus mendapatkan pengobatan tanpa batas waktu, sementara bantuan dari negara tak bisa diandalkan.
Adalah tugas semua pihak untuk mencegah agar tidak ada lagi orang yang melakukan atau menjadi korban aksi teror. Melalui pelatihan ini, Imam berharap para petugas Lapas dapat berempati kepada korban terorisme, sehingga nantinya dapat menumbuhkan empati WBP terorisme terhadap korban. Dalam hematnya, perdebatan ideologis sering buntu, karena itu butuh pendekatan lain yang bersifat afektif seperti kisah korban. “Siapa tahu ini adalah salah satu bagian strategis yang pendekatannya lebih efektif daripada yang selama ini dilakukan,” demikian Imam yang juga anggota Badan Pertimbangan Pemasyarakatan.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan, I Wayan Kusmiantha Dusak, mengaku terkesan dengan program membangun perdamaian di Lapas yang digagas oleh AIDA. Menurut dia, program AIDA yang hendak menyampaikan suara korban kepada WBP terorisme menarik forum internasional. “Kemarin saya menghadiri pertemuan di Bangkok bercerita tentang kegiatan ini, dan respons mereka sangat bagus sekali. Program ini sangat kreatif dan menginspirasi Lapas-lapas di luar negeri. Ke depan, saya harap kegiatan ini bisa melibatkan lebih banyak lagi petugas Lapas,” ujarnya dalam pelatihan.
Dalam kesempatan tersebut, Dusak menghaturkan terima kasih kepada AIDA karena telah memperhatikan lembaga yang dipimpinnya. Ia berharap, para petugas Lapas dapat menerapkan ilmu dari pelatihan ini saat membina WBP. “Ini adalah salah satu metode untuk bagaimana mencegah radikalisasi dalam Lapas. Bagaimana lingkungannya menjadi antiradikal. Karena perilaku orang banyak dipengaruhi oleh lingkungannya,” kata dia.
Dusak berpandangan pelatihan yang berlangsung dua hari tersebut terlalu singkat untuk menyediakan semua yang dibutuhkan petugas Lapas dalam membina WBP terorisme. Namun demikian, ia optimistis ke depan para petugas Lapas peserta pelatihan memiliki visi perdamaian dalam membina WBP.
Pelatihan ini diikuti oleh 22 orang petugas Lapas dan 8 orang pegawai Ditjen Pas Kemenkumham. Para peserta berasal dari Lapas di wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang menampung WBP terorisme.
Salah satu narasumber, pakar terorisme Universitas Indonesia, Solahudin, menyatakan saat ini ada sekitar 200 WBP terorisme yang menghuni beberapa Lapas di Indonesia. Dalam waktu dekat, akan ada puluhan terpidana kasus terorisme yang didistribusikan ke berbagai Lapas. “Mereka adalah orang-orang yang melakukan tindak pidana terorisme pada 2015-2016. Ini akan menjadi tantangan berat buat petugas Lapas,” ujarnya. [SWD]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian”, edisi X Oktober 2016.