Home Berita Sinergi Korban dan Media untuk Indonesia Damai
Berita - 13/01/2017

Sinergi Korban dan Media untuk Indonesia Damai

Puluhan wartawan dari berbagai media massa nasional menyadari pemberitaan terkait isu terorisme selama ini sangat kurang memuat perspektif korban. Mereka berkomitmen akan menempatkan suara korban sebagai bagian tak terpisahkan dari pemberitaan isu terorisme. Demikian sepenggal hasil pelaksanaan Short Course “Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media” di Jakarta akhir Mei lalu.

Dalam kegiatan yang diinisiasi oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) itu para jurnalis media cetak dan elektronik menerima materi yang mengupas tuntas hal terkait korban terorisme dari sejumlah narasumber. Selama dua hari, Rabu s.d. Kamis (25 s.d. 26/5/2016), para peserta menyelami realitas kehidupan korban, memahami fakta pemberitaan media, serta mengambil pelajaran dari rekonsiliasi korban dan mantan pelaku terorisme.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam sambutannya menjelaskan bahwa sinergi korban dan media massa berpeluang menciptakan Indonesia yang lebih damai. Ia mengatakan, media memiliki dua peran penting untuk mengangkat perspektif korban. Pertama, media dapat memberikan ruang bagi korban sebagai duta perdamaian. Korban adalah cermin utuh sadism kekerasan terorisme dan suara mereka menjadi narasi kuat untuk membangun Indonesia damai. Kedua, media menempati posisi strategis dalam membantu korban mendapatkan haknya sesuai Undang-Undang (UU) yang selama ini belum dipenuhi negara.

“Sangatlah penting kehadiran korban di media untuk memposisikan mereka sebagai duta perdamaian. Lebih dari itu, segenap elemen bangsa termasuk media memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong pemenuhan hak-hak korban yang seakan terabaikan selama ini,” ujarnya.

Salah satu pemateri, pakar komunikasi dan media, Agus Sudibyo, menyampaikan perlunya membuat penguatan laporan jurnalistik berdasarkan perspektif korban. Dalam pandangannya, model pemberitaan media massa masih mengandalkan jargon names make news, menyuguhkan berita berdasarkan nama besar tokoh dari kelompok elite. Korban terorisme dinilai merupakan kalangan awam (ordinary people) sehingga sangat jarang diberi ruang. Selainitu, pengajar Akademi Televisi Indonesia itu menilai motif media massa membuat berita tak jarang hanya mengejar sensasi, mengesampingkan etika dan kurang memperhitungkan dampak pada masyarakat luas.

Frame berita dalam isu terorisme terlalu sering melihat sisi konflik antara aparat dan kelompok teroris. Sangat jarang media melihat dari sisi-sisi yang menarik terkait orang-orang yang menjadi korban dari aksi itu, termasuk tentang hak mereka sebagai korban yang ternyata belum diperhatikan negara,” kata dia.

Dalam kursus dua hari itu, para peserta juga mendapatkan materi Panduan Pemberitaan Isu Terorisme dari jurnalis senior dan anggota Dewan Pers, Nezar Patria. Dalam paparannya, ia menyampaikan bahwa pada pinsipnya wartawan terikat prinsip jurnalisme untuk tidak menyiarkan adegan yang dapat menimbulkan kesan glorifikasi dari aksi terorisme. Pemuatan foto atau adegan hanya diperbolehkan bila bertujuan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa terorisme selalu menimbulkan kekejian dan menelan korban jiwa.

“Disadari atau tidak, jika tidak diiringi kehati-hatian media massa terkadang berperan menggandakan teror. Siaran live media elektronik rentan menjadi factor pembesar aksi terror sehingga rasa takut yang timbul di masyarakat semakin menjadi,” ujarnya.

Materi dari peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin, tentang peta ekstremisme dan strategi media jaringan teroris juga semakin memperkaya sudut pandang para peserta. Dalam presentasinya, Solahudin menjabarkan peta jaringan ekstremis serta perkembangan mereka di Indonesia.

 

Belajar dari Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku

Dalam kegiatan Short Course, para wartawan juga mendapatkan sesi tatap muka secara eksklusif dengan korban dan mantan pelaku terorisme. Pada satu sesi, peserta melakukan talk show dengan tiga korban terorisme, Hayati Eka Laksmi (korban Bom Bali 2002); Wahyu Sri Rejeki dan Nanda Olivia Daniel (korban Bom Kuningan 2004). Para korban berbagi pengalaman hidup saat mengalami tragedy ledakanbom di hadapan peserta. Dari penuturan kisah korban, para peserta mendapatkan wawasan baru.

“Terus terang sayaspeechless, tidak tahu harus bagaimana atau harus menulis apa setelah mendengar kisah para korban ini. Saya yakin teman-teman jurnalis sepemikiran dengan saya bahwa kedepan kita harus semakin intens mendorong pemerintah memenuhi hak-hak korban melalui produk-produk jurnalistik di media kita masing-masing,” kata peserta dari The Jakarta Post.

Pada sesi lain, peserta mendapatkan materi Belajar dari Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku. Narasumber dalam sesi ini adalah Vivi Normasari, korban Bom JW Marriott 2003, dan Ali Fauzi, mantan anggota jaringan teror. Di hadapan para wartawan Vivi dan Ali mempresentasikan perjalanan hidup masing-masing yang membawa keduanya kini bersatu dalam Tim Perdamaian AIDA.

Usai Vivi dan Ali menyampaikan presentasi, terjadi diskusi dinamis dalam sesi itu. Sebagian peserta mengaku kagum akan ketegaran hati Vivi sebagai korban yang memaafkan mantan pelaku. Sebagian yang lain penasaran dengan Ali yang mampu berlepas diri dari jaringan teroris dan kini aktif mengampanyekan perdamaian bersama korban.

“Secara pribadi dan mewakili teman-teman media, saya mengapresiasi AIDA yang bisa menyatukan suara korban dan mantan pelaku untuk menyebar luaskan perdamaian bagi bangsa ini,” kata peserta dari Metro TV. (TS) [SWD]

 

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA edisi IX Juli 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *