Home Opini Menyemai Nalar Kritis Cegah Terorisme
Opini - 10/01/2017

Menyemai Nalar Kritis Cegah Terorisme

Edisi Senin 19/12, koran SP menulis beberapa artikel yang mengingatkan bahaya penyebaran paham radikalisme terorisme di kalangan remaja sekolah menengah. Topik ini memang harus disuarakan kepada public sebagai lampu kuning. Khususnya kepada orang tua, praktisi pendidikan dan pemerintah. Berdasarkan fakta mutakhir bom gereja Katolik Santo Yosep Medan, Agustus silam, dilakukan langsung oleh remaja 18 tahun berinisial IAH yang baru lulus SMA.

Empat tahun silam, Agustus 2012, polisi menembak mati F. Remaja 19 tahun yang melakukan serangkaian teror pos polisi di Solo itu melawan dengan senjata api saat penangkapan. Sebelumnya, sekelompok remaja 17-20 tahun divonis bersalah karena meletakkan bom di delapan tempat berbeda di Surakarta dan Klaten pada rentang Desember 2010- Januari 2011. Salah satu pelaku berinisial AW yang kala itu masih berstatus siswa sebuah SMK di Klaten, mengaku terpengaruh buku Osama bin Laden yang menghalalkan pembunuhan orang kafir. Pada Juli 2009, Dani Dwi Permana (18 tahun) yang baru saja lulus SMA di Bogor dengan suka rela menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriot.

Selain fakta tersebut, penelitian tentang radikalisme agama di kalangan pelajar pun menghasilkan kesimpulan mengkhawatirkan. Dalam survei Maarif Institute pada Desember 2015, Dari 98 responden pelajar SMA yang mengikuti Jambore Maarif Institute, 48 persen di antaranya mengaku bersedia menyerang individu atau kelompok yang dianggap menghina Islam. Selain itu sebanyak 6,12 persen menyatakan setuju bahwa pengeboman yang dilakukan Amrozi, cs merupakan perintah agama.

Fakta dan temuan riset di atas menunjukkan, banyak remaja usia sekolah yang suka rela melakukan aksi kekerasan atas nama agama, termasuk teror, demi status syahid (istisyhad). Hal ini tentu menggelisahkan. Sistem pendidikan kita memang tidak pernah memproduksi terorisme, karena seperti dalam kasus IAH, AW, dan Dani, mendapatkan doktrin jihad salah kaprah (terorisme) dari luar sekolah. Namun sistem pendidikan kita memang tidak cukup berhasil menumbuhkan nalar kritis sehingga mampu menyaring informasi dan pemahaman negatif. Sebagai contoh, di era murah digital kini, pengguna gawai begitu mudahnya membagikan informasi dan artikel-artikel yang tingkat akurasi dan kebenarannya sangat rendah, baik di media sosial maupun chat group, tanpa cek dan ricek terlebih dulu.

Dalam hemat saya, salah satu akar penyebab radikalisme adalah minimnya critical thinking (bernalar kritis). Anak didik takut berbeda pandangan dengan guru, orang takut salah jika mengambil sikap berbeda atas apa yang diajarkan kepadanya, khawatir “tersesat” jika mempelajari sesuatu yang bertentangan dengan apa yang mereka peroleh selama ini. Sikap tersebut lantas melahirkan fanatisme terhadap doktrin dan klaim kebenaran tunggal (truth claim). Muaranya adalah antiperbedaan dan keragaman. Jika pikiran demikian sudah menggumpal di kepala remaja, maka ajaran-ajaran kekerasan atas nama agama sangat mudah diterima, diresapi, dan lantas diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Ditambah dengan tontonan video-video konflik komunal berbasis SARA, sepertikonflik Ambon dan Poso, gairah remaja kian meletup.

Moral Karakter

Setelah beragam persoalan yang mendera kalangan pelajar; pornoaksi, tawuran, radikalisme, dan sebagainya, pemerintah lantas mencanangkan program pendidikan karakter. Program ini sangat tepat, sebab hakikatnya problem utama bangsa Indonesia kini bukan soal intelektualitas, melainkan moral yang berpangkal dari karakter. Problem moral seperti radikalisme dan terorisme bisa diatasi salah satunya dengan pedagogi kritis sebagai dasar konseptual dan praksis pendidikan karakter. Pedagogi kritis menentang metode pendidikan yang memerlakukan anak didik sebagai bejana kosong untuk dijejali dengan pengetahuan. Sebaliknya, guru memandang anak didik sebagai asisten produsen pengetahuan. Dan metode dialog adalah pola pembelajaran untuk membebaskan anak didik terlibat aktif menciptakan pengetahuan.

Tujuan utama pedagogi kritis adalah menumbuhkan nalar kritis pada anak didik (Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, 1970). Dalam konteks problem radikalisme, yang perlu dibangun adalah kesadaran bahwa di lingkungan manapun kerap terjadi praktik penanaman nilai-nilai radikalisme seperti; Indonesia adalah negara kafir karena tidak menjalankan hukum Islam secara formal sehingga layak makar; kelompok yang berbeda pandangan keagamaan adalah kafir sehingga halal darahnya; dan semacamnya. Anak didik harus diajak mengkaji doktrin-doktrin semacam itu.

Dengan pendekatan ini, diharapkan kesadaran mereka menolak radikalisme tumbuh secara alamiah. Pada tataran praktis, salah satu konsep penting dalam penerapan pedagogi kritis ialah problem posing education (pendidikan menghadapi masalah).

Semisal ada kasus terorisme atas nama jihad, guru dapat melibatkan semua anak didik untuk mencari makna jihad yang tepat dalam konteks keindonesiaan dan membandingkannya dengan kasus-kasus radikalisme dan terorisme.

Dialog Demokratis

Anak didik diajak untuk merenungkan dampak negatif aksi-aksi tersebut. Bahwa aksi terorisme hanya memproduksi anak-anak yatim baru, baik yatim secara fisik karena kehilangan orangtuanya yang menjadi korban teror, atau secara sosial lantaran kehilangan kasih sayang dari orang tuanya yang menjadi teroris. Padahal seperti firman Allah dalam Qs. Al Ma’un ayat 1-2, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim.” Menghardik anak yatim saja disebut sebagai pendusta agama, apalagi orang yang dengan sengaja “meyatimkan” anak melalui aksi-aksi teror.

Melalui proses dialog yang demokratis tanpa ada pihak yang mengklaim paling benar, diharapkan nalar kritis anak didik akan terasah. Memiliki pemahaman yang cukup kuat dan tidak mudah untuk diindoktrinasi ajaran apa pun, termasuk ideologi jihad salah kaprah. Metode lain dalam pedagogi kritis antiradikalisme dan antiterorisme adalah pelibatan sosial, yakni dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam peristiwa teror, baik pelaku maupun korban. Hal ini dilakukan oleh AIDA, lembaga di mana penulis bekerja, yang melibatkan mantan pelaku dan korban terorisme mengampanyekan perdamaian di sekolah-sekolah.

Dari pelaku, anak didik bisa belajar tentang sebab-musabab keterlibatan mereka dalam kelompok kekerasan dan alasan pertaubatannya. Sementara dengan menyaksikan dampak kebrutalan teror yang tampak dalam diri korban, diharapkan muncul empati kemanusiaan dan pikiran kritis anak didik terhadap segala ajaran kekerasan, termasuk yang berbasis agama.

Tafsir-tafsir keagamaan yang bertentangan dengan kemanusiaan atau tak relevan dengan realitas tidak ditelan mentah-mentah. Semoga kelak tak ada lagi IAH, F, AW, dan Dani lagi.

Penulis adalah Peneliti Aliansi Indonesia Damai/AIDA.

*Artikel ini pernah dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan edisi 22 Desember 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *