Perdamaian Itu Soal Kemauan
Apakah damai itu? Soal ini sering diarahkan kepada Jose Manuel Barroso (60), penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2012. Atas pertanyaan itu, ia selalu berusaha menjabarkan: mewujudkan perdamaian itu bergantung pada kemauan dan peran banyak pihak.
“Damai itu adalah kondisi dari adanya kesetaraan dalam segala hal dan itu peran Anda semua. Saya sering ditanya, bagaimana keadaan dunia 20 tahun ke depan. Saya selalu menjawab, itu terserah kepada pelakunya sendiri. Mau damai atau tidak. Perdamaian bukan peran siapa pun, kecuali pihak yang menginginkan damai itu sendiri,” kata Barroso di Aula Baruga Andi Pangeran Pettarani, Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (27/1).
Kompas menyaksikan sendiri bahwa Barroso adalah pribadi yang damai dan sangat rendah hati. Sabtu (28/1) subuh di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, seorang berkulit putih tanpa pengawalan apa pun datang tergopoh-gopoh menanyakan pintu untuk penerbangan ke Denpasar.
Setelah mengucapkan terima kasih, dengan setengah berlari karena agak terlambat, ia menuju pesawatnya. Orang-orang di Bandara Sultan Hasanuddin sama sekali tidak ada yang tahu bahwa dia adalah penerima Nobel Perdamaian sekaligus mantan Perdana Menteri Portugal dan Presiden Komisi Eropa. Ia tidak ingin menonjol sama sekali.
Barroso datang ke Indonesia sebagai bagian dari rangkaian acara The 6th ASEAN “Bridges Dialogues Towards A Culture of Peace yang berlangsung di Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam mulai Januari sampai Maret 2017. Seri dialog dengan para penerima Nobel ini diprakarsai International Peace Foundation (IPF) yang berbasis di Vienna, Austria. Sebelum Barroso, yang sudah hadir ke Indonesia dari seri kegiatan 2017 ini adalah Eric Mastin (Nobel Ekonomi) dari Amerika Serikat (AS).
Pada kunjungan Barroso di dua kampus di Indonesia, yaitu Universitas Prasetiya Mulya di Serpong, Banten, dan Universitas Hasanuddin, mayoritas pertanyaan yang diajukan terkait politik. Kompas mendapat kesempatan wawancara khusus politik (“Uni Eropa Sangat Kuat”, Kompas Minggu, 29 Januari 2017, halaman 3). Namun, sesungguhnya secara personal, Barosso punya sisi yang sangat menarik, apalagi kalau menggali visinya tentang perdamaian.
“Manusia sekarang tampaknya takut pada masa depan,” katanya lagi di sela-sela pertanyaan tentang masa depan AS di bawah Presiden Donald Trump. Atas soal itu, ia menjawab dengan mengalihkan topik secara jenaka. Katanya, terlalu dini untuk berkomentar tentang itu. Ada juga pertanyaan tentang kemungkinan pecahnya Uni Eropa.
Ketakutan pada masa depan itu, ujar Barroso, terjadi karena melihat kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini: kekerasan makin merajalela, ekonomi yang kian tidak menentu, dan sebagainya.
“Dan, itu semua sebenarnya dipacu pada globalisasi yang kemudian membawa berbagai ikutannya, seperti perdagangan antarnegara yang kian besar dan juga perpindahan manusia antarnegara yang di satu sisi membawa terorisme juga. Bagaimana sikap kita? Menghentikan perdagangan?” ujarnya yang disusul keheningan ruangan menanti kelanjutan pernyataan ini.
Bagi Barroso, semua keburukan dunia selalu dikatakan akibat kesalahan para politikus. Padahal, segala keburukan dunia adalah akibat kesalahan kita sendiri. Semua hal baik atau buruk sesungguhnya bermuara pada kemauan kita sendiri akan masa depan, termasuk bagaimana kita memilih politikus yang akan mewakili kita di sebuah negara.
Barroso lalu menggarisbawahi dua kata ini: keramahan dan kekerasan (hospitality and hostility) yang akan membedakan segala kemungkinan kelanjutan hubungan antarnegara. Selain itu, hubungan perdagangan dua negara selalu dibayangi dua hal, yaitu zero sum game yang berkonotasi “Kalau baik untukku, buruk untuk orang lain. Buruk untukku, baik bagi orang lain” serta positive sum game yang berkonotasi “Usahakan yang baik bagi semua”.
“Tiongkok itu jadi kaya karena makin terbuka. Apakah itu buruk bagi orang lain?” tanyanya sambil menyilakan hadirin membuat kesimpulan sendiri.
Selain itu, hal lain yang diyakini Barroso akan membawa kedamaian adalah perserikatan. “Uni Eropa dimulai dengan kerja sama ekonomi pada 1957. Kemudian disusul kerja sama-kerja sama lain,” katanya.
Di tengah aneka pertanyaan tentang keberhasilan atau kegagalan Uni Eropa, Barroso menegaskan bahwa keberhasilan Uni Eropa setidaknya tampak pada hal berikut: sudah tidak ada perang lagi antarnegara Eropa selama 60 tahun terakhir. Sesuatu yang tidak terjadi sebelum adanya persatuan negara-negara Eropa itu.
“Perserikatan di satu sisi mengusahakan agar perang tidak terjadi. Mau damai? Mulailah dengan mencegah perang. Mari budayakan culture of peace, budaya damai,” paparnya berapi-api.
Perserikatan, menurut Barroso, akan membawa ketidaksetaraan ke dalam putaran damai. “Dalam sebuah perserikatan antarnegara, negara yang secara ekonomi kuat dan negara yang secara ekonomi lemah akan punya martabat yang sama akibat perserikatan itu.” Di ASEAN, Barroso mengambil contoh Timor-Leste dan Singapura yang secara ekonomi berbeda, tetapi bisa setara sebagai sesama anggota perserikatan itu.
“Mencegah perang adalah dengan menghilangkan segala akar ketidaksetaraan. Dan, perserikatan adalah salah satu yang bisa melakukannya,” katanya.