Home Opini Menanam Budaya Perdamaian di Kampus
Opini - 16/02/2017

Menanam Budaya Perdamaian di Kampus

Kasus kekerasan di dunia pendidikan kembali mencoreng catatan sejarah bangsa Indonesia. Seolah tereproduksi, penganiayaan berujung kematian yang dilakukan oleh senior kepada junior di lembaga pendidikan menyedot perhatian masyarakat. Awal 2017, setelah seorang taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta Utara meninggal dunia menjadi korban tindak kekerasan para seniornya, beberapa hari selepasnya tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta meregang nyawa karena perlakuan di luar batas kakak kelas saat mengikuti pendidikan dasar mahasiswa pecinta alam di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah.

Perundungan seakan-akan telah menjadi tradisi turun-temurun di kampus. Sungguh disayangkan, lingkungan pendidikan yang semestinya menjadi tempat yang kondusif untuk menggembleng anak bangsa menjadi terdidik dan beradab, justru di dalamnya terbangun budaya kekerasan.

Kejadian yang menimpa almarhum Amirullah Adityas Putra, pelajar taruna tingkat satu STIP Marunda, Cilincing, Jakarta Utara pada Januari lalu bukan kali pertama di kampus tersebut. Berdasarkan informasi dari pemberitaan media massa, kurang dari sepuluh tahun terakhir telah terjadi 6 kasus tindak kekerasan hingga menelan korban jiwa di perguruan tinggi kedinasan itu. Seperti dilansir tribunnews.com, pada 12 Mei 2008, taruna tingkat pertama STIP, Agung B Gultom, tewas di tangan 10 taruna senior. Masih pada 2008, tepatnya bulan November, kekerasan di STIP kembali terulang. Jegos (19), taruna tingkat pertama, dianiaya oleh taruna senior hingga gegar otak. Dua kekerasan lagi terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Kekerasan di STIP kembali terjadi pada tahun 2014. Kali ini nyawa taruna pertama, Dimas Dikita Handoko, melayang sia-sia di tangan para senior.

Sanksi dan hukuman kepada para pelaku kekerasan telah dilakukan. Tersangka tindak kekerasan dalam kasus-kasus sebelumnya tidak hanya dipecat dari ikatan kedinasan STIP tetapi juga dikenai hukuman pidana. Keheranan di masyarakat pun muncul, mengapa kasus yang sama terjadi lagi.

Di banyak kasus, tradisi perundungan yang terjadi di lingkungan pendidikan sering terjadi dilatari oleh faktor egoisme senior yang menginginkan untuk selalu dominan. Terdorong faktor tersebut, mereka sering melampaui batas dan dengan semena-mena melakukan berbagai cara agar meraih kewibawaan dan harga diri yang superior di mata pelajar yang datang belakangan ketimbang mereka. Dalam situasi itulah indikasi perundungan sering terjadi. Senior tak ragu untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan membuat malu, merendahkan harga diri, bahkan melakukan kekerasan baik fisik, verbal maupun psikis, kepada adik kelas demi mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari mereka.

Entah bermula dari senior angkatan berapa, seolah-olah tradisi perundungan tersebut menjadi sistem yang “terwariskan” secara turun-temurun dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Tradisi kekerasan di luar batas sungguh menjadi keprihatinan mendalam masyarakat. Senior yang seharusnya memberikan contoh yang baik bagi juniornya tentang bagaimana berbudi pekerti sebagai kaum terdidik dan bagaimana menjadi pelajar berprestasi, malah mewariskan tradisi tidak beradab kepada juniornya.

Pada kenyataannya perilaku kekerasan, baik di dunia pendidikan maupun sektor lainnya, tidak menghasilkan manfaat bagi siapapun. Sebaliknya, kekerasan hanya akan menimbulkan kerusakan dan kerugian ekstra besar. Kerugian pun tidak hanya dirasakan oleh korban namun juga pelaku kekerasan itu sendiri. Dalam kasus di lembaga pendidikan, pelaku kekerasan selain terancam drop out atau dikeluarkan dari kampus juga harus berurusan dengan yang berwajib serta terancam sanksi pidana.

Perploncoan berujung kematian di STIP dan UII seolah-olah menunjukkan budaya kekerasan di lembaga pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah bersama bagi para pemangku kebijakan. Segala lini masih memerlukan penyempurnaan agar tradisi kekerasan tak terulang lagi. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi mesti membenahi sistem pendidikan nasional agar kekerasan di dunia pendidikan benar-benar terhapuskan. Program pendidikan karakter untuk membentuk akhlak serta merevolusi mental pelajar dan mahasiswa Indonesia agar berpikir maju tampaknya masih harus lebih digiatkan. Polisi dan aparat penegak hukum wajib untuk semakin proaktif menindak kasus kekerasan di dunia pendidikan seadil-adilnya.

Tak kalah penting, masyarakat juga sangat diharapkan perannya dalam menyemai budaya cinta damai kepada generasi muda bangsa. Hal ini penting untuk mencegah aksi kekerasan membudaya di lingkungan pendidikan, atau menjangkiti pola pikir kaum pelajar. Menurut hemat penulis, perlu digiatkan kampanye tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, dan tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan kepada generasi muda. Aksi kekerasan bila dibalas dengan kekerasan hanya akan menghasilkan situasi yang disebut spiral kekerasan. Sama halnya jika ketidakadilan di suatu tempat dibalas dengan ketidakadilan lainnya, maka ketidakadilan berikutnya akan muncul dan yang ada hanyalah siklus ketidakadilan.

Menanamkan budaya perdamaian dalam diri para pelajar tidak terbatas di lingkungan kampus saja. Pola pikir dan akhlak mereka juga sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi dan perkembangan di masyarakat. Untuk itu, masyarakat dituntut untuk “mengajarkan” perdamaian pula kepada kaum pelajar. Sebagai contoh, masyarakat perlu menggiatkan tradisi gotong royong atau kerja bakti, ronda, menghidupkan karangtaruna, atau kearifan lokal lainnya yang dapat menyentuh kaum pelajar. Masyarakat juga dapat menunjukkan wujud nyata perdamaian sebagai pembelajaran kepada insan pendidikan dengan cara menjaga keharmonisan hidup di antara warganya.

Pemerintah serta setiap anggota masyarakat mesti memiliki kesadaran yang sama tentang urgensi penanaman budaya cinta perdamaian kepada generasi muda. Dengan penanaman budaya perdamaian tersebut diharapkan bangsa ini menuai hasilnya di masa depan, yakni lahirnya para pelajar dan mahasiswa yang penuh prestasi, berkemajuan, cinta damai dan menjauhi kekerasan. Kepedulian dari semua pihak inilah yang dapat memutus mata rantai budaya kekerasan di lingkungan pendidikan. [SWD]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *