Home Berita Membumikan Budaya Damai di Sekolah
Berita - 27/04/2017

Membumikan Budaya Damai di Sekolah

Malam itu sejumlah guru sekolah menengah atas (SMA) di Klaten, Jawa Tengah, berdecak kagum melihat kebersamaan Tim Perdamaian yang terdiri dari korban terorisme dan mantan pelaku aksi kekerasan, yang mengampanyekan pentingnya perdamaian. Mereka takjub lantaran korban dan mantan pelaku bisa saling memaafkan dan bergandengan tangan mengajak masyarakat untuk menjaga dan mewujudkan perdamaian termasuk di lingkungan pendidikan.

Para guru menyaksikan pemandangan langka itu ketika mengikuti Training of Trainer (ToT) “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Hotel Grand Quality Yogyakarta pada pertengahan Mei lalu. Sebanyak dua puluh guru dari lima sekolah, yaitu SMAN 1 Klaten, SMAN 1 Karanganom, SMAN 1 Ceper, SMAN 1 Wonosari, dan SMKN 2 Klaten, menjadi peserta pelatihan ini.

Salah satu guru SMAN 1 Karanganom merasa bangga mendapatkan pengalaman untuk belajar dari Tim Perdamaian. “Korban dan mantan pelaku bisa melakukan rekonsiliasi dan menyampaikan pesan-pesan perdamaian. Jika ada beberapa orang yang seperti mereka maka alangkah indahnya negeri ini,” ujarnya.

Sementara guru SMKN 2 Klaten menilai kelapangan hati korban yang memaafkan mantan pelaku sesuai dengan ajaran agama bahwa memaafkan itu jauh lebih utama daripada meminta maaf. Menurut dia, sikap korban tersebut patut diteladani.

Di hadapan para guru, korban aksi teror bom di kawasan Kuningan, Jakarta, 9 September 2004, Iswanto Kasman, berbagi kisah tentang dampak ledakan bom yang dideritanya. Saat kejadian, pria asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu sedang bertugas mengatur lalu lintas di depan kantornya, Kedutaan Besar Australia. Pagi itu, ia melihat sebuah mobil boks yang berjalan sangat pelan di depan kantornya. Lalu ia bergegas menghampiri mobil tersebut karena curiga mengapa kecepatannya di bawah batas.

“Baru empat langkah menuju ke sana tiba-tiba mobil itu meledak dan saya terlempar sejauh empat meter. Seketika saya mengalami sakit yang luar biasa, badan terasa panas dan mata sakit sekali,” tuturnya. Akibat peristiwa itu gendang telinga kirinya rusak sehingga terasa sakit ketika naik pesawat dan mendengar suara kencang. Tak hanya itu, ia juga kehilangan penglihatan sebelah kanannya akibat ledakan bom itu.

Dalam kesempatan itu, Iswanto juga berbagi kisah tentang semangatnya bangkit dari keterpurukan peristiwa itu. Menurut dia, dukungan keluarga dan rekan-rekan kerjanya, termasuk juga yang menjadi korban bom sangat berpengaruh terhadap proses kebangkitan dirinya. “Teman-teman menasihati bahwa saya harus kuat dan bangkit. Ketika dipertemukan dengan pelaku dalam persidangan satu tahun setelah kejadian, pelaku menjabat tangan saya dan meminta maaf. Saya termenung beberapa saat lalu hati berucap saya tidak punya dendam pada pelaku,” ujarnya.

Sementara itu, mantan pelaku aksi kekerasan, Ali Fauzi, menceritakan jejak langkahnya bergabung dengan jaringan teroris hingga akhirnya memutuskan keluar dari kelompoknya. Ia telah meminta maaf dan berekonsiliasi dengan para korban. Terbebas dari jalan kekerasan, kini Ali memilih menjadi duta perdamaian bersama korban terorisme di Indonesia. Dia berketetapan hati untuk aktif mengampanyekan perdamaian demi terciptanya kemaslahatan bersama. “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat buat sesama,” ujarnya.

Ali juga memaparkan bagaimana mengidentifikasi kelompok ekstrem agar para guru dapat melindungi anak didiknya dari ancaman tersebut. Menurut dia mengenali kelompok ekstrem tidak bisa dilihat dari penampilan fisiknya saja seperti memelihara jenggot atau bercelana cingkrang. Identifikasi yang benar, kata dia, dilihat dari pemikiran dan ajarannya, seperti membatasi makna jihad dengan perang dan membenarkan aksi irhabiyah atau teror.

Kegiatan AIDA mengajak para guru menumbuhkan semangat cinta damai di sekolah mendapat dukungan dari Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Dalam kegiatan tersebut, di samping pembelajaran dari Tim Perdamaian para peserta juga mendapatkan pengayaan materi tentang peran guru dalam perdamaian dari pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan Sukoharjo, KH. Muhammad Dian Nafi’.

“Kalau guru ingin membumikan perdamaian di sekolah, ada syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah adil dan tidak memihak, mudah menjangkau dan dijangkau, cakap ilmu mediasi konflik, cakap berkomunikasi humanis, dan berakhlak mulia,” ujarnya.

Peserta juga mendapatkan wawasan baru terkait tantangan radikalisme siswa dari materi Peta dan Tipologi Kelompok Prokekerasan di Indonesia dari peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin. “Generasi muda, termasuk pelajar, sangat rentan dijadikan target oleh kelompok-kelompok ekstrem. Apabila kita lengah membina dan mengawasi anak-anak kita, besar kemungkinan mereka terjerumus ke jaringan prokekerasan,” kata dia.

Para peserta menilai pelatihan ini sangat positif bagi tenaga pendidik untuk menghadapi tantangan radikalisme dan ajaran prokekerasan, serta membumikan budaya damai di sekolah. Setelah mengikuti kegiatan mereka tergerak untuk menjadi duta perdamaian di sekolahnya masing-masing. Mereka berkomitmen akan mempraktikkan ilmu yang didapatkan dari pelatihan dalam kegiatan pembelajaran dan pembinaan kesiswaan. (AS) [SWD]

 

 

 

 

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA Edisi IX Juli 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *