Home Suara Korban Cinta Keluarga Membantuku Bangkit
Suara Korban - 03/05/2017

Cinta Keluarga Membantuku Bangkit

Sudarsono Hadisiswoyo menginginkan kehidupannya terstruktur dengan baik. Masa mudanya dia gunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. Dia adalah aktivis pergerakan mahasiswa semasa kuliah. Tak hanya aktif berorganisasi, ia juga menekuni kegiatan ekstrakurikuler di kampusnya. Salah satu prestasi yang cukup membanggakan baginya adalah menjuarai kejuaraan koreografi dance antar perguruan tinggi se-Jabodetabek tiga kali berturut-turut.

Segala rencana hidup masa depan telah dia atur sedemikian rupa agar mapan. Setelah berkeluarga dia bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas. Bersama keluarga kecilnya dia menjalani kehidupan untuk berusaha meraih yang diimpikan setiap orang, kebahagiaan.
Tanggal 9 September 2004, Sudarsono menjalani aktivitas kesehariannya seperti biasa. Tidak ada firasat apa pun. Pagi itu dia meminta izin ke kantornya untuk masuk kerja agak siang sebab ingin menjemput anaknya dari sekolah. Sekitar pukul 10 pagi dia sedang melintas tepat di seberang gedung Kedutaan Besar Australia di Jl. HR. Rasuna Said Kuningan, Jakarta. Saat itulah sebuah mobil boks bermuatan bom meledak hebat hingga mengenai mobil yang ditumpangi Sudarsono.
Dia merasakan seketika mobil yang ditumpanginya seakan mengerut disebabkan gelombang panas yang dihasilkan dari ledakan bom. Hawa panas membakar tubuhnya yang terjebak di dalam mobil. Efek ledakan bom juga mengguncangkan tubuhnya dengan kekuatan dahsyat. Sudarsono merasa kejadian yang dialaminya dua belas tahun lalu adalah kiamat. Sesaat kemudian dia jatuh pingsan tidak sadarkan diri.
Menurut sejumlah orang yang menyaksikan peristiwa itu, dirinya sempat keluar dari mobil tapi kemudian ambruk, lemah tak berdaya. Dia lalu dilarikan ke rumah sakit. Dikabarkan bahwa kondisinya tidak dapat ditolong, bahkan sempat ditempatkan di kamar mayat. Tak disangka sesaat berikutnya tubuh Sudarsono menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya masih hidup.
“Tapi Alhamdulillah, Allah berkehendak lain. Beberapa menit kemudian saya mampu bernafas dan dibantu dirawat dokter Australia yang ada di Jakarta, dan tertolong,” ujar Sudarsono saat berbagi kisah dalam kegiatan kampanye perdamaian yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di SMAN 1 Malang, Jawa Timur, pada Juli 2015.
Sudarsono hampir berputus asa setelah dokter mendiagnosa kondisinya ke depan diperkirakan akan lumpuh, matanya akan buta, dan telinganya akan tuli. Mendengar hal itu Sudarsono sangat terpukul karena mimpi-mimpi hidupnya terancam bakal pupus. Keterpurukannya semakin menjadi setelah datang kabar bahwa perusahaannya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepadanya. Saat itu dia benar-benar dihadapkan pada cobaan bertubi-tubi ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
Waktu perawatan yang dibutuhkan untuk memulihkan kesehatan Sudarsono cukup lama. Mendengar perkiraan dokter bahwa tubuhnya akan lumpuh, dia meminta pulang sebab merasa perawatan di rumah sakit tidak akan menyelamatkannya. Saat hendak meninggalkan rumah sakit itulah dia merasa mendapatkan keajaiban dari Tuhan. Dia merasa tiba-tiba kakinya mampu berjalan saat berusaha menyelamatkan anaknya yang hampir jatuh. Dengan rasa cinta yang besar pada anaknya, secara refleks dia bergerak mendekat menyelamatkan anaknya agar tidak terjatuh. Setelah kejadian itu, Sudarsono memiliki keyakinan bahwa dirinya bisa pulih dengan semangat kuat dan cinta yang besar pada keluarganya. Dia mengabaikan prediksi dokter tentang kesehatannya dan selalu bersemangat untuk sembuh.
Setelah bisa berjalan, Sudarsono mencoba melamar kerja dengan jujur tentang kondisi kesehatannya sebagai korban bom namun tidak ada satu pun yang menerimanya. Tak patah semangat, dia mencoba melamar kembali ke perusahaan lain, kali ini dengan merahasiakan riwayat medisnya, dan ternyata diterima.
Pada tahun 2008, faktor kelelahan dan kondisi kesehatan yang belum sepenuhnya pulih membuatnya drop hingga mesti dirawat di rumah sakit. Di luar dugaan sakit yang dideritanya cukup mengkhawatirkan. Dia mengalami kelainan yang dalam istilah medis dikenal sebagai blank spot atau kehilangan sebagian memori dalam hidupnya. Saat mengalami kelainan itu dia tidak mengenal siapa pun, termasuk anak, istri, dan orang tuanya.
Dia dibantu keluarganya dengan sabar dan perlahan untuk mengingat kembali kehidupan masa lalunya dengan menunjukkan foto-foto. Sedikit demi sedikit ingatannya mulai pulih. Memori tentang orang-orang terkasih di sekelilingnya mulai kembali. “Proses mengenal keluarga kembali adalah hal yang sangat menyakitkan. Alhamdulillah saya bisa bangkit kembali dan mencoba bekerja kembali, karena saat opname saya di-phk lagi,” ujarnya.
Dengan semangat cinta keluarga Sudarsono mencoba bangkit dari berbagai tantangan kehidupan. Saat ini dia bekerja sebagai konsultan profesional.
Sebagai seorang penyintas aksi teror, dia menginginkan masyarakat hidup dengan damai tanpa kekerasan “Saya tidak ingin ada Sudarsono-Sudarsono lain seperti saya (red. korban bom) lagi. Saya mengajak pada dinda-dinda untuk hidup damai dan mengerti bahwa damai itu indah,” ucapnya mengakhiri kisahnya. (AM) [SWD]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *