Mendalami Arti Perdamaian Bersama Penyintas
Pertengahan Maret lalu Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menyelenggarakan kegiatan safari kampanye perdamaian di lima sekolah di kota Bandar Lampung, Lampung. Lima sekolah yang dikunjungi adalah SMA Taman Siswa, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 8, dan SMAN 9. Di setiap sekolah AIDA mengajak lima puluh pelajar untuk mendalami arti penting perdamaian serta menghindari penggunaan segala bentuk kekerasan melalui kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”.
Dalam kegiatan tersebut Tim Perdamaian AIDA yang terdiri atas penyintas dan mantan pelaku terorisme berbagi kisah tentang pentingnya memelihara perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Anggota Tim Perdamaian yang hadir di Bandar Lampung di antaranya Wayan Sudiana, I Gusti Ngurah Anom (penyintas Bom Bali 2002), Agus Suaersih (penyintas Bom JW Marriott 2003), Sarbini, Nanda Olivia Daniel (penyintas Bom Kuningan 2004), dan Kurnia Widodo (mantan pelaku terorisme).
Pada kesempatan Dialog Interaktif di SMAN 9, Agus Suaersih berbagi pengalaman sebagai penyintas terorisme kepada para siswa. Saat aksi teror bom terjadi pada 5 Agustus 2003, ibu satu anak ini sedang bekerja di Restoran Syailendra Hotel JW Marriott Jakarta. Dia hendak menyodorkan struk tagihan kepada pelanggan ketika tiba-tiba ledakan super keras terjadi disertai sambaran api yang sangat besar. Tubuhnya terhempas akibat hentakan bom. Dia mengaku beruntung dapat selamat dari aksi teror tersebut lantaran terlindung sebuah tiang.
Ade, sapaan akrab Agus Suaersih, mengalami cedera di bagian kepala dan hidung. Tulang hidungnya patah dan darah mengucur dari kepalanya akibat benturan dengan benda keras saat terpental karena ledakan. Dari luka tersebut dia harus menjalani operasi pemulihan hidung hingga dua kali.
Aksi teror Bom JW Marriott 2003 memakan banyak korban manusia dan menimbulkan banyak kerugian material. Sebagai seorang muslimah, Ade tak habis pikir mengapa para teroris yang mengaku beragama Islam melakukan kekerasan sedemikian kejam terhadap saudara sebangsa dan seagama. “Kok ada orang Islam berbuat begitu ke saudaranya yang seagama,” kata dia. Kepada para siswa peserta Dialog Interaktif, dia berpesan agar saling menghormati perbedaan dalam hidup bermasyarakat.
Para siswa peserta Dialog Interaktif tercenung mendengarkan kisah Ade. Sebagian siswa mengaku mendapatkan pelajaran berharga dari semangat ketangguhan Ade yang bangkit dari penderitaan masa lalunya. Selain dari kisah korban, para peserta juga mendapatkan wawasan baru dari penyampaian pengalaman mantan pelaku terorisme, Kurnia Widodo.
Kurnia mengatakan, dahulu saat bergabung dengan kelompok teroris dia tidak berpikir jauh bahwa dampak aksi teror sangat merusak dan mengakibatkan penderitaan yang dalam bagi korban. Ayah empat ini mengaku menyesal sempat terjerumus ke dalam jaringan terorisme.
Pada kesempatan Dialog Interaktif di SMAN 9 Bandar Lampung, Kurnia mengucapkan permohonan maaf kepada para korban terorisme. Disaksikan para siswa peserta Dialog Interaktif, Kurnia menyatukan telapak tangan dan meminta maaf kepada Ade selaku korban terorisme. Momen permohonan maaf dari Kurnia dan pemberian maaf dari Ade dalam kegiatan siang itu mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari peserta.
Kurnia juga berpesan agar para siswa peserta Dialog Interaktif memahami ajaran agama dengan baik dan benar. “Ajaran agama yang lebih tepat adalah saling menghargai pendapat orang lain atau pun kelompok lain, tidak merasa bahwa ajarannyalah yang paling benar, sedangkan orang lain salah,” ujarnya.
Penuturan kisah dari penyintas dan mantan pelaku terorisme menjadi bagian penting dalam safari kampanye perdamaian di Bandar Lampung. Sesuai tema kegiatan “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”, para peserta Dialog Interaktif diharapkan dapat mendalami makna ketangguhan dengan mengambil hikmah dari kisah hidup para penyintas dan mantan pelaku. Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan bahwa dari kisah penyintas peserta dapat mengambil pelajaran bahwa hendaknya sesama warga masyarakat tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Para penyintas telah mengajarkan bahwa memaafkan orang-orang yang telah bertaubat dan meninggalkan kelompok kekerasan lebih menenangkan hati serta pikiran ketimbang menyimpan dendam kepada mereka.
“Dari kisah mantan pelaku adik-adik juga mesti mengambil pelajaran bahwa ketidakadilan jangan dibalas dengan ketidakadilan. Orang yang terlibat terorisme mengklaim bahwa bom yang dia ledakkan itu bentuk balasan atas ketidakadilan yang terjadi di negara lain. Ketidakadilan dibalas ketidakadilan lainnya maka yang tercipta adalah orang-orang yang tidak bersalah, tidak tahu apa-apa, hanya sekadar lewat atau sedang bekerja tiba-tiba terkena bom, menjadi korban,” terangnya. [F]