Home Berita Mendorong Pemberitaan yang Berperspektif Korban
Berita - 09/05/2017

Mendorong Pemberitaan yang Berperspektif Korban

Puluhan wartawan antusias menuliskan lima hal yang paling berharga dalam hidupnya di secarik kertas. Mereka lalu saling bertukar kertas, mencoret dua dari lima hal paling berharga temannya kemudian mengembalikan kertas kepada pemiliknya. Setiap orang pun kaget bukan kepalang. Semua merasa kehilangan lantaran yang sangat berharga dalam hidup “dihilangkan” oleh orang lain.
Pemandangan tersebut merupakan satu sesi permainan dalam kegiatan Short Course “Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Surakarta, Jawa Tengah pada 19 s.d. 20 September 2016. Fasilitator kegiatan, Laode Arham, mengajak peserta untuk membayangkan kehilangan anggota tubuh atau sosok yang dicintai.
Dalam kegiatan tersebut para peserta, jurnalis media nasional dan daerah, menyimak penuturan penyintas terorisme, salah satunya Nagiyah Aprilia (korban Bom JW Marriott 2003). 13 tahun silam, tak ada firasat apa pun dalam benak perempuan 42 tahun itu kala suaminya, Harna, pamit untuk berangkat kerja. Rona pucat yang terlihat dari wajah kekasihnya saat itu tak ia hiraukan. “Mungkin karena kelelahan,” begitu dugaannya.
Menjelang siang, Nagiyah melihat beberapa stasiun televisi memberitakan peristiwa ledakan bom di Hotel JW Marriott. Kecemasan mulai melandanya sebab sang suami yang bekerja sebagai pengendara taksi kerap memangkal di hotel tersebut. “Jam 5 sore saya ditelepon pihak perusahaan bahwa suami meninggal di tempat kejadian,” ujarnya.
Pascatragedi selama beberapa bulan Nagiyah memendam amarah kepada para pelaku teror. Suaminya yang tak bersalah harus menjadi korban meninggalkan 3 buah hatinya yang masih kecil. Ia sempat bingung bagaimana membesarkan anak-anaknya sedangkan selama ini suaminya adalah tulang punggung keluarga. Seiring waktu secara perlahan ia menyadari bahwa semua itu adalah takdir tak terlawan yang harus dihadapi.
Selain Nagiyah, AIDA juga menghadirkan Christian Salomo dan Sudarsono Hadi Siswoyo (korban Bom Kuningan 2004) untuk menuturkan kisahnya kepada peserta Short Course. Akibat ledakan Christian mendapatkan 600 jahitan di seluruh badan. Hingga kini beberapa logam masih bersarang di dalam tubuhnya. Rekannya, Sudarsono, sempat mengalami amnesia.
Kini para penyintas telah berdamai dengan masa lalu dan memaafkan kekhilafan orang-orang yang terlibat aksi teror. Dalam kegiatan itu, Sudarsono duduk berdampingan dengan mantan pelaku teror yang telah meninggalkan jalan kekerasan, Ali Fauzi Manzi, untuk bersama-sama menyuarakan perdamaian. “Saya berbagi kisah ini dengan harapan kelak tak ada lagi korban teror yang berjatuhan,” demikian Sudarsono.
Ketegaran penyintas menuai apresiasi dari peserta Short Course. Seorang peserta berkisah hingga kini belum menemukan kejelasan kabar dua orang kerabatnya yang hilang akibat konflik kekerasan di masa lalu. “Saya respek dan salut betul kepada Ibu Nagiyah dan teman-teman penyintas lainnya. Saya kalau bercerita soal paman saya yang hilang akibat konflik 1965 masih sering emosional, sedangkan ini Bu Nagiyah yang kehilangan suami mampu tegar dan bangkit,” ucapnya.
Media dan Perspektif Korban
Selain materi kisah penyintas, para peserta mendapatkan pengayaan wawasan tentang perspektif korban dari beberapa narasumber, salah satunya Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers periode 2013-2016. Menurut pengamatannya, selama ini pemberitaan media massa tentang peristiwa terorisme lebih banyak berorientasi kepada pelaku. Sementara isu-isu terkait proses pemulihan korban dan hak-haknya yang harus ditunaikan negara kerap luput dalam pemberitaan.
Oleh sebab itu ia berharap ke depan para jurnalis mampu melihat isu terorisme dari aspek korban. Dia berpandangan di samping mengabarkan peristiwa teror, media juga penting menampilkan perspektif korban kepada masyarakat. “Jurnalis juga harus menyoroti soal pemulihan para korban. Sejauh mana korban diurusi negara, apakah hak-haknya seperti kompensasi telah ditunaikan. Media massa harus mengadvokasi isu itu,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan pemateri lain, Sunudyantoro. Wartawan senior salah satu media massa nasional itu menegaskan peliputan terorisme harus berempati kepada korban dan tidak menambah penderitaan mereka. Ia mengkritik sebagian pemberitaan terorisme selama ini justru terjebak pada penonjolan kekerasan yang malah menambah derita batin korban dan keluarganya.
“Intinya dalam meliput korban peristiwa traumatik, jurnalis harus menerapkan prinsip meminimalkan mudarat. Jurnalis tak boleh menambah penderitaan orang yang sudah menderita,” ujarnya memungkasi.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam kegiatan tersebut mengatakan melalui silaturahmi dengan penyintas, diharapkan para insan media menjadi semakin kuat menjiwai perspektif korban dalam pemberitaan isu terorisme, yaitu pemberitaan yang mengarah pada dorongan untuk memenuhi hak-hak korban dan pemberian peran kepada mereka untuk membangun Indonesia damai. [MSY] (SWD)
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi X Oktober 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *