Masih Ada Keraguan dalam Kompensasi bagi Korban Terror
Bertahun-tahun, para penyintas dari serangan teroris serta keluarga korban merasa bahwa kondisi mereka terabaikan. Undang-undang memberi mereka kompensasi finansial dari negara atas penderitaan dan kerugian material mereka, namun uang hanya dapat dibayarkan setelah pengadilan menjatuhkan vonis bersalah terhadap pelaku kejahatan dalam kasus terorisme.
Jika tidak ada tersangka yang dibawa ke pengadilan, tidak ada kompensasi yang akan dibayarkan, karena tidak ada yang bertanggung jawab. Dan dalam kebanyakan kasus terorisme, terutama dalam pemboman bunuh diri, para tersangka akhirnya tewas.
Berbagai permasalahan ini akan diubah. Pada Kamis, Panitia Khusus di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ditugaskan untuk mengamandemen Undang-Undang Terorisme Tahun 2003 telah sepakat untuk menambahkan ketentuan yang menjamin korban serangan teroris mendapatkan kompensasi dari negara, terlepas dari berbagai keadaan yang melingkupi.
Pasal 36 draft terbaru yang disampaikan oleh Pansus menetapkan bahwa korban tetap akan menerima kompensasi walaupun tersangka dibebaskan dari semua tuduhan terorisme.
Ketentuan lain dalam draft tersebut menyatakan bahwa jika tersangka tewas atau tidak dapat diidentifikasi, para korban masih dapat menerima kompensasi melalui perintah pengadilan.
“Saat ini, korban selamat harus menunggu terlalu lama untuk menerima kompensasi. Banyak dari mereka akhirnya tidak menerima apapun, karena tersangka sudah meninggal atau tidak ditemukan,” Ketua Pansus DPR, Muhammad Syafi’i dari Partai Gerindra, mengatakan. “Dengan revisi ini, mereka bisa menggunakan hak mereka.”
Meskipun demikiam, usulan revisi tersebut masih gagal memberikan solusi yang menyeluruh terhadap proses peradilan para tersangka yang berlangsung lama. Seorang korban mungkin harus menunggu bertahun-tahun agar sebuah kasus mencapai putusan akhir dan mengikat.
Seperti halnya undang-undang yang berlaku, revisi yang diusulkan mensyaratkan bahwa jaksa memasukkan permintaan ganti rugi negara dalam dakwaan mereka agar hakim memasukkan kompensasi dalam putusan, jika pelaku diajukan ke pengadilan.
“Revisi tidak membawa sesuatu yang baru, karena kompensasi pada dasarnya diberikan melalui proses pengadilan,” kata Hasibullah Satrawi, Direktur Aliansi Perdamaian Indonesia (AIDA), sebuah organisasi yang memberdayakan korban dan mantan teroris, kepada The Jakarta Post pada hari Kamis. “Ini karena DPR belum mendengarkan apa yang diinginkan para korban.”
Senin, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memerintahkan pemerintah untuk membayar sebesar Rp238 juta (US $ 17.781) sebagai kompensasi kepada tujuh korban pemboman mematikan di Gereja Oikumene di Samarinda, selain menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Juhanda, tersangka utama.
Putusan tersebut menuai apresiasi sebagai sebuah langkah progresif, karena bisa dijadikan dasar untuk putusan serupa di masa depan. Akan tetapi, banyak kelompok, termasuk AIDA, memiliki keraguan terhadap mekanisme mendapatkan kompensasi melalui proses peradilan.
Hasibullah mengutip dua kasus terakhir pemboman Hotel JW Marriott tahun 2009 dan serangan teroris di Thamrin 2016 sebagai contoh. Dalam kedua kasus tersebut tidak ada pengadilan yang memutuskan kompensasi untuk para korban.
Pada bulan Januari, Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengeluarkan perintah kepada semua jaksa di seluruh Indonesia untuk memasukkan kompensasi dalam dakwaan mereka atas kasus terorisme.
Meskipun surat edaran telah dikeluarkan, namun, jaksa dalam kasus Thamrin gagal memasukkan kompensasi dalam surat dakwaan mereka, yang dibacakan pada bulan November tahun lalu.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Eddyono mengatakan lembaganya, bersama AIDA dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang mendorong revisi undang-undang tersebut, menginginkan agar kompensasi bagi para korban diberikan segera, tanpa harus menunggu perintah pengadilan.
Supriyadi mengatakan bahwa mereka menginginkan agar kompensasi ditangani oleh LPSK.
“Sayangnya, dalam diskusi terakhir kami tentang korban terorisme (dengan para pembuat undang-undang), semua fraksi di DPR menginginkan agar kompensasi diberikan melalui proses peradilan,” kata Supriyadi.
Safrin La Batu
Nurul Fitri Ramadhani
*Artikel ini adalah terjemahan artikel yang pernah dimuat di Jakarta Post edisi 29 September 2017.