Kejadian Tak Terlupakan Sepanjang Hidup
Peristiwa ledakan bom terorisme di Hotel JW Marriott Jakarta, 5 Agustus 2003, menjadi momen tak terlupakan sepanjang hidup Dwi Welasih. Ledakan itu mengakibatkan 12 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka. Dwi dan adiknya, Andini Setyawati, menjadi korban ledakan bom tersebut dan mengalami luka di beberapa bagian tubuh.
“Kejadian tiga belas tahun silam itu tak terlupakan dalam hidup saya,” ujar Dwi menceritakan kisahnya dalam satu kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Cirebon pada bulan Februari tahun lalu.
Dwi mengatakan sebelum mengalami musibah, putri tunggalnya menangis seolah tak mengizinkan dirinya berangkat kerja. Namun, hari itu ia harus mengurus sejumlah dokumen kantor tempatnya bekerja.
“Sebelum mengurus dokumen kantor, saya mengajak adik makan siang di Hotel JW Marriott. Saat ingin turun dari mobil, kami mendengar bunyi ledakan dan getarannya besar seperti gempa bumi. Seketika keadaan menjadi gelap dan tercium bau asap yang menyengat dan badan terasa panas,” kata dia.
Beberapa saat setelah ledakan Dwi berlari menuju tempat aman. Namun, seketika ia teringat adik dan sopirnya yang masih berada di mobil. Ia bergegas kembali ke mobil untuk menghampiri adiknya dan ternyata adiknya terluka di bagian kaki. Saat itu ia melihat adiknya terluka sangat parah. Kedua kakinya berlumuran darah.
Perempuan kelahiran Jakarta, 24 April 1970, ini mengungkapkan mobilnya tertimpa runtuhan kaca dari gedung Plaza Mutiara yang terletak di samping Hotel JW Marriott. Menurut dia jarak mobilnya dengan lokasi ledakan sekitar 50 meter. Kobaran api dari ledakan bom tersebut menyambar hingga mengakibatkan mobilnya ringsek. Untungnya mobil masih bisa berfungsi untuk mengantarkan dua perempuan bersaudara itu ke rumah sakit terdekat.
Dwi dan adiknya langsung dirujuk ke Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka segera mendapatkan perawatan medis dan luka-lukanya dibersihkan. “Kaki kami dibersihkan dan rambut kami yang terbakar juga dibersihkan. Saat pembersihan itu terasa sakit sekali. Rasa panas terasa dari ujung rambut hingga kaki. Bau mesiu sangat menyengat di badan kami,” tuturnya.
Sebagai seorang kakak, Dwi sengaja tidak mengabarkan kejadian yang menimpa diri dan adiknya kepada ibundanya di rumah. Dia khawatir ibunya akan sangat terpukul bila mengetahui dua putrinya menderita luka akibat bom.
Tak disangka, sang ibu di rumah mengetahui kabar bahwa Dwi dan Andini terluka akibat aksi teror dari berita di televisi. Mendengar kedua anaknya terbaring di rumah sakit akibat ledakan bom, ibunya seketika tak sadarkan diri. Setelah tersadar ibunya langsung menjenguk kedua buah hatinya di rumah sakit. Beruntung ketika ibunya datang Dwi dan adiknya sudah mendapatkan penanganan medis sehingga kondisinya terlihat lebih baik dibandingkan sesaat setelah tiba di rumah sakit.
Dwi meminta kepada dokter yang menanganinya agar dirinya di rawat/menjalani perawatan medis di rumah karena pertimbangan kondisi psikologis ibunya. Selama tiga bulan Dwi tidak bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda. Sementara itu, Andini menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama satu bulan.
Selain mengakibatkan luka fisik, ledakan bom juga membuat Dwi dan adiknya mengalami trauma psikologis. Dwi mengaku takut untuk pergi ke tempat keramaian dan kawasan sekitar ledakan bom. Ia juga mengalami trauma terhadap asap, api, panas, dan bau mesiu.
Dwi bersyukur lantaran keluarganya, terutama sang ibu, terus memberikan dukungan tanpa henti sehingga mempercepat dirinya untuk bangkit dan optimis menjalani kehidupan meski pernah tertimpa musibah bom. Setelah sembuh dari luka, Dwi bersama para korban lainnya mendirikan komunitas korban bom terorisme bernama Yayasan Penyintas Indonesia. Organisasi tersebut dimaksudkan sebagai sebuah wadah yang menampung para korban terorisme di Indonesia.
Dengan difasilitasi AIDA, Dwi juga turut serta menyebarkan pentingnya perdamaian ke khalayak luas seperti pelajar dan guru. [AS]
*Disarikan dari penuturan kisah Dwi Welasih dalam kegiatan Pelatihan Guru di Cirebon, Jawa Barat, Februari 2016.