Generasi Tangguh Cinta Damai dan Antikekerasan

Dua pekan lalu Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mengadakan road show Kampanye Perdamaian di Semarang dan Kendal, Jawa Tengah. Di dua kota di pesisir utara Jawa AIDA mengunjungi lima sekolah dan menyelenggarakan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Belajar Menjadi Generasi Tangguh”. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan wawasan para pelajar tentang pentingnya membangun kepribadian yang tangguh serta memiliki semangat hidup damai.
Kelima sekolah yang dikunjungi adalah SMAN 1 Kendal, SMAN 1 Weleri, SMA Muhammadiyah 1 Weleri, MA Uswatun Hasanah Semarang, dan SMAN 3 Semarang. Dalam kegiatan Dialog Interaktif di setiap sekolah AIDA menghadirkan Tim Perdamaian, yaitu korban dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi. Tim Perdamaian dari unsur korban adalah I Gusti Ngurah Anom, penyintas aksi teror Bom Bali 2002, dan Nanda Olivia Daniel, penyintas Bom Kuningan 2004. Dari unsur mantan pelaku, dihadirkan Iswanto, mantan anggota kelompok teroris asal Lamongan, Jawa Timur.
Secara bergantian korban dan mantan pelaku berbagi pengalaman tentang ketangguhan kepada para siswa peserta Dialog Interaktif. Nanda berkesempatan untuk berbagi kisah di SMAN 3 Semarang dan SMAN 1 Weleri. Dia mengisahkan pengalamannya saat terdampak ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 9 September 2004. Penderitaannya melalui proses pengobatan, operasi hingga pemulihan pascaledakan dia rasakan sangat menyakitkan. “Setelah menjalani terapi berbulan-bulan, yang pertama kali berfungsi kembali adalah jari telunjuk. Saya pikir ini adalah teguran untuk saya agar tidak lagi meninggalkan solat saya,” ujarnya.
Dalam kondisi sakit dan terpuruk Nanda tidak menyerah untuk bersemangat melanjutkan hidup. Dia bersyukur dapat pulih dari cedera kemudian kembali beraktivitas. Setelah beberapa kali bertemu mantan pelaku ia bahkan mampu memaafkan kesalahan orang-orang yang pernah terlibat terorisme. Dia enggan membalas aksi teror yang dilakukan para teroris dengan aksi serupa. “Tidak ada gunanya juga membalas kekerasan dengan kekerasan. Setelah itu suasana hati saya menjadi ringan,” dia mengisahkan.
Penyintas Bom Bali 2002, I Gusti Ngurah Anom, juga berbagi kisah dalam Dialog Interaktif. Pada saat kejadian, Anom sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja di sebuah rumah makan di Kuta, Bali. Dia mengalami luka-luka, kulit bagian pelipisnya terkelupas, pendengaran salah satu telinganya terganggu. Serpihan kaca tertancap di sebelah bola matanya. Setelah dilakukan operasi penglihatannya tidak terselamatkan.
“Musibah datang tidak bisa disangka-sangka, ambillah hikmahnya. Tetaplah semangat dan terus belajar menjadi generasi tangguh. Jika punya masalah jangan sampai membalas dengan kekerasan, memaafkan lebih baik, ini harapan saya. Saya juga begitu, sebagai korban bom, apabila pelakunya mau meminta maaf kepada saya, saya akan memaafkannya.” Demikian Anom berpesan kepada para siswa peserta Dialog Interaktif.
Dari sisi mantan pelaku, Iswanto menceritakan liku-liku kehidupannya mulai saat bergabung dengan kelompok teroris hingga akhirnya dia berbalik dari dunia kekerasan untuk menyebarkan perdamaian. “Setelah banyak belajar akhirnya saya berpikir ulang tentang jalan kekerasan yang pernah saya jalani. Saya juga menjadi semakin yakin setelah dipertemukan dengan korban bom oleh AIDA,” kata dia.
Salah satu siswa dari SMAN 1 Kendal mengaku sangat tertarik dengan kegiatan Dialog Interaktif. “Dari kisahnya Pak Iswanto, kita harus hati-hati dalam memilih teman agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dilarang, sedangkan dari kisahnya Pak Anom, beliau adalah contoh manusia yang tabah. Walaupun diserang tanpa memiliki kesalahan, diserang hingga kehilangan satu mata dan pendengarannya, dia mampu memberikan maaf kepada orang lain,” akunya. [AM]