Home Suara Korban Menolak Menjadi Bangsa Pelupa
Suara Korban - 10/11/2017

Menolak Menjadi Bangsa Pelupa

“Waktu makan siang di kantor anak buah saya tanya, ‘Rahang Bapak kenapa, Pak?’ Saya jawab, ‘Saya korban bom tahun 2004 di depan Kedubes Australia’. Lalu dia bilang, ‘Emangnya ada ya, Pak, bom tahun 2004?’ Saat itu saya langsung ingat perkataan istri almarhum Munir (aktivis HAM-red) bahwa bangsa kita adalah bangsa yang pelupa.”

Demikian diungkapkan Mulyono Sutrisman, korban aksi teror bom di depan Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan 9 September 2004, saat berbicara dalam sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Bandung, 12-13 Agustus 2017. Dia mengaku perasaannya campur aduk bila memikirkan sikap orang-orang seperti anak buahnya itu. Di satu sisi sakit akibat ledakan bom masih dia rasakan dan akan terbawa seumur hidup, di sisi lain perhatian publik terhadap korban aksi terorisme sangat minim.

Lebih dari sepuluh tahun pascatragedi Mulyono memendam cerita hidupnya sebagai korban terorisme dan menolak menyampaikannya ke publik. Setelah dipertemukan dengan AIDA dia mengaku berkenan untuk membagi pengalaman hidupnya sebagai korban bom agar masyarakat menyadari arti penting perdamaian serta bahaya terorisme.

Dia berharap dari upaya tersebut tidak ada lagi orang seperti anak buahnya yang alpa terhadap peristiwa bersejarah yang menimbulkan korban. Aksi teror Bom Kuningan 2004 yang menimpanya menewaskan 9 orang dan melukai 150 lainnya. Dengan mengingat dan memahami sejarah bangsa ini dapat mengambil pelajaran berharga agar di masa depan tragedi serupa tak terjadi.

Dalam kegiatan yang melibatkan para aktivis dakwah dari berbagai ormas Islam di Bandung Mulyono menceritakan peristiwa yang menyebabkan dirinya terluka parah. Saat kejadian, dia sedang mengendarai mobil di Jl. HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Dia perkirakan mobil pembawa bom yang meledak hanya berjarak 20 meter dari mobilnya. Seketika ledakan sangat keras terjadi, merusak, memecah, dan menghancurkan segala benda di sekitarnya.

“Seluruh mobil ketika itu berhenti, jalan-jalan dipenuhi dengan asap, daun-daun berjatuhan, kaca-kaca gedung pecah berantakan,” ujarnya.

Akibat ledakan tersebut rahang Mulyono hancur.

Tak hanya dirawat di rumah sakit di Jakarta, dia juga dirujuk untuk mendapatkan pengobatan lanjutan di Singapura dan Australia. Dia menjalani rekonstruksi rahang dengan mengambil sebagian tulang kecil di kakinya. Proses operasi yang dia jalani kurang lebih sebanyak 30 kali.

Kendati mengalami penderitaan yang luar biasa, Mulyono sadar bahwa musibah yang menimpanya adalah ujian dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia meyakini musibah tersebut adalah cara Tuhan menaikkan derajatnya. “Kalau kita mendapat musibah tapi masih nggak terima sama Allah, ya, berarti kita belum naik kelas,” kata dia.

Sebelum mengakhiri kisahnya, Mulyono berpesan bahwa sejarah sangat penting untuk diingat dan dijadikan bahan pelajaran bagi generasi muda sekarang agar tidak terjerumus ke dalam pemikiran-pemikiran yang salah. [F]

*Disarikan dari penuturan kisah Mulyono dalam kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama di Bandung, Jawa Barat, 12 Agustus 2017.