Membangun Jurnalisme Berperspektif Korban dan Perdamaian

Dengan tenang Ali Fauzi Manzi, mantan pelaku aksi terorisme, mengisahkan pengalamannya bergabung hingga akhirnya meninggalkan kelompok kekerasan. Dia mengawali kisahnya dengan mengucapkan permohonan maaf atas terjadinya serangan teror Bom Bali I (2002), Bom Bali II (2005), dan rangkaian teror di tempat-tempat lainnya yang dilakukan oleh saudara dan rekan-rekannya.
Tak ketinggalan, dia meminta maaf kepada para korban terorisme, salah satunya adalah Iwan Setiawan, penyintas teror bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jl. HR. Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan pada 2004. “Juga terhadap Mas Iwan, sahabat saya yang menjadi korban bom empat ratus kilogram yang dimuat di sebuah mobil boks, yang dirakit oleh adik kelas saya,” ujarnya.
Ali Fauzi pertama kali bertemu Iwan tahun 2015 di Malang, Jawa Timur dalam sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Dalam kegiatan tersebut dia menangis saat mendengarkan kisah Iwan yang terkena bom hingga mengalami kebutaan. “Mas Iwan luar biasa. Saya banyak belajar dari beliau untuk bisa bangkit. Bagaimana dia porak poranda hidupnya, matanya hilang, istrinya meninggal, dalam keadaan mengandung bom itu meledak. Terima kasih, Mas Iwan memberikan banyak inspirasi buat saya,” ujarnya.
Pria bersongkok hitam itu mengisahkan pengalamannya di hadapan puluhan peserta Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media di Jakarta awal April lalu. Kegiatan yang diinisiasi AIDA tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kaum jurnalis akan pentingnya sudut pandang korban dalam setiap pemberitaan tentang isu terorisme. Sebanyak 24 wartawan dari berbagai media massa nasional mengikuti kegiatan dengan antusias.
Selain Iwan, dua orang penyintas terorisme juga dihadirkan dalam kegiatan tersebut, yaitu Sri Hesti (korban Bom JW Marriott 2003) dan Daisy Nelly (korban Bom Kuningan 2004). Secara bergantian Sri dan Daisy membagikan kisahnya kepada para jurnalis peserta Short Course.
Sri Hesti ialah ibunda alm. Rudi Dwi Laksono, petugas keamanan Hotel JW Marriott Jakarta, yang meninggal dunia akibat ledakan bom pada 5 Agustus 2003. Dia mengatakan, berdasarkan penuturan rekan-rekan sekerja Rudi, putranya terkena ledakan saat mendekati sebuah mobil yang tak dinyana membawa bom. Kondisi mental Sri sempat terpuruk akibat aksi teror yang merenggut putra bungsunya. “Bayangkan Mas, Mbak, anaknya berangkat sehat, cakep, pulang udah … (tidak bernyawa-red), itu gimana rasanya hatinya orang tua, Mas,” sambil terisak Sri berujar kepada para peserta Short Course.
Sementara itu, Daisy menceritakan pengalamannya menjadi korban teror Bom Kuningan 2004. Pada waktu bom meledak, dia merasakan suatu dorongan yang sangat kencang. Dia dan ratusan orang yang berada di dalam gedung tepat di sebelah Kedutaan Besar Australia lantas berebut keluar, khawatir terjadi ledakan susulan. Tanpa alas kaki Daisy mencoba menyelamatkan diri dari situasi yang sangat mencekam pascaledakan. Dia mengikuti saran seseorang untuk melompat dari jendela dengan ketinggian sekitar dua meter. Nahas, telapak kakinya yang telah menginjak banyak pecahan kaca tak mampu bertahan. Melompat dari ketinggian membuat tulangnya retak.
Waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kondisi kakinya akibat cedera cukup lama, satu tahun. Lebih dari itu, dia mengaku luka psikis yang ditimbulkan dari aksi teror memakan waktu yang lebih lama lagi. “Secara fisik saya sembuh, tetapi secara trauma sampai hari ini saya masih tetap trauma,” kata dia.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam Short Course mengatakan, berbagai penderitaan korban teror sudah semestinya menjadi keprihatinan bersama, terutama negara. Pasalnya, hak-hak korban yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) belum sepenuhnya diberikan. Dia menyebutkan, hak kompensasi korban yang tertera dalam UU No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tak pernah terbayarkan karena mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Bertepatan dengan sedang berjalannya proses revisi UU tersebut, Hasibullah mengajak para insan media untuk mengawal penyempurnaan atas berbagai kelemahan yang terkandung. “Di sinilah pentingnya peran teman-teman media untuk bersama-sama mengawal hak-hak korban yang diatur dalam UU benar-benar dilaksanakan,” ujarnya.
Di samping kisah korban, para peserta kegiatan mendapatkan materi pengayaan dari sejumlah narasumber pakar. Salah satunya adalah Membangun Jurnalisme Damai, Memberi Ruang pada Suara Korban yang disampaikan oleh Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B.
Prasodjo. Dia mengatakan, media massa di era teknologi informasi yang serba maju ini berperan penting untuk membangun fakta menjadi informasi yang mendidik dan bernilai bagi masyarakat. Dia berharap dari kegiatan dua hari tersebut dapat tercipta jejaring yang kuat di antara para jurnalis sehingga dapat terbangun pemberitaan yang memunculkan dimensi-dimensi kemanusiaan dalam perspektif korban.
Seorang peserta mengaku mendapatkan wawasan baru setelah mengikuti Short Course. “Testimoni para korban juga cukup membuat kita ikut merasakan bagaimana dampak dari kegiatan terorisme itu sudah sangat menyakiti bahkan sampai sekarang sulit untuk dilupakan,” ujarnya. [MLM]