Perdamaian Dimulai dari Hal Kecil

“Meskipun saya lulusan ITB, saya nggak malu jualan es keliling. Menurut saya hal-hal kecil untuk perdamaian itu lebih baik daripada hal besar tapi untuk kekerasan.”
Kata-katanya tegas. Pandangannya terfokus pada para siswa yang duduk di hadapannya. Dia adalah Kurnia Widodo, seorang mantan pelaku aksi terorisme. Setelah menjalani hukuman karena terlibat kasus terorisme pada 2010, dia meninggalkan dunia kekerasan dan kini meniti jalan perdamaian. Dia berjualan es untuk mencari rezeki, tidak gengsi meskipun menyandang gelar sarjana dari perguruan tinggi ternama, Institut Teknologi Bandung (ITB). Berjualan es mungkin terlihat sepele namun baginya profesi itu sangat mulia sebab dari jalan itu dia dapat menafkahi keluarga. Dia melihat hal kecil seperti berjualan untuk menafkahi keluarga jauh lebih baik ketimbang aktivitas masa lalunya yang sering merakit bom atau merencanakan aksi teror dengan tujuan untuk menciptakan ketakutan yang besar di masyarakat.
Kurnia mengisahkan pengalamannya tersebut dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 2 Bandar Lampung pertengahan Maret lalu. Kegiatan tersebut bagian dari safari kampanye perdamaian yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di ibu kota Provinsi Lampung. Di kota tersebut AIDA menghadirkan Tim Perdamaian, yang terdiri atas penyintas dan mantan pelaku aksi terorisme, ke lima sekolah untuk mengajak para pelajar melestarikan budaya cinta damai.
Dalam kegiatan Dialog Interaktif, Kurnia mengatakan salah satu faktor yang semakin memantapkan hatinya untuk meninggalkan jalan kekerasan adalah pertemuannya dengan penyintas terorisme. Dia mengaku tersentuh melihat kebesaran hati penyintas yang memaafkan mantan pelaku seperti dirinya, padahal telah menderita akibat aksi terorisme. “Kalau pemahaman saya dulu waktu merakit bom, saya tidak memikirkan dampaknya bisa membuat orang yang jadi korban sampai menderita hebat. Saya minta maaf kepada para korban semuanya,” kata dia.
Pada kesempatan di Bandar Lampung, Kurnia bertemu dengan I Wayan Sudiana, I Gusti Ngurah Anom (penyintas Bom Bali 2002), Nanda Olivia Daniel, Sarbini (penyintas Bom Kuningan 2004), dan Agus Suaersih (penyintas Bom JW Marriott 2003), untuk bersatu menjadi Tim Perdamaian. Secara bergiliran Kurnia berduet dengan para penyintas untuk mengampanyekan perdamaian di di SMA Taman Siswa, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 8, dan SMAN 9.
Anggota Tim Perdamaian, Sarbini, dalam Dialog Interaktif di SMAN 8 berbagi kisah saat menjadi korban teror bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jl. HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan pada tahun 2004. Saat kejadian bapak dua anak ini sedang bekerja memasang instalasi jaringan komputer di sebuah kantor di gedung Plaza 89 yang terletak persis di seberang Kedutaan Besar Australia. “Saya mental sekitar tiga meter, kena meja komputer,” ujarnya. Akibat ledakan dia mengalami luka serius di bagian kepala. Setelah dioperasi dan dirawat di rumah sakit, dia masih harus menjalani rawat jalan hingga dua tahun untuk memulihkan kesehatan.
Musibah ledakan bom membuat Sarbini kehilangan pekerjaan hingga perekonomiannya sempat terpuruk. Setelah dinyatakan benar-benar pulih dia baru bisa bekerja kembali. Demi menafkahi keluarga dia sempat menjadi kuli bangunan dan bekerja di bengkel las. Dia menekuni pekerjaannya hingga pada 2014 mampu membuka bengkel las mandiri. Dia bersyukur dapat bangkit setelah mengalami tragedi teror bom. “Segala sesuatu diambil hikmahnya saja, jangan terlalu dipikirkan, yang penting ke depannya harus tetap semangat,” ungkapnya.
Pada kesempatan Dialog Interaktif di SMAN 3, penyintas Bom Bali 2002, I Gusti Ngurah Anom, juga berbagi kisah. Pada malam terjadinya ledakan bom, 12 Oktober 2002, Anom sedang dalam perjalanan pulang setelah bertugas sebagai penjaga keamanan di sebuah restoran. Tak seperti biasanya, dia memilih jalur alternatif yakni melewati Jalan Legian. Dia berhenti sejenak untuk membeli air minum di sebuah warung. Saat hendak melanjutkan perjalanan dia mengalami ledakan super besar yang memporakporandakan bangunan dan kendaraan. Dia mengalami cacat permanen di mata sebelah kiri akibat ledakan bom.
Saat ini Anom telah bangkit dari tragedi yang dialaminya meskipun trauma mental terkadang masih dirasakan. Selain mengikhlaskan masa lalu, Anom juga telah berekonsiliasi dengan mantan pelaku terorisme. “Saya memang pernah jadi korban tapi saya tidak ragu untuk memaafkan. Sekali pun itu lain agama, pelakunya sudah saya maafkan,” ujarnya. Dia mengaku tak menyimpan dendam karena terdorong ajaran agamanya untuk memaafkan kesalahan manusia.
Para siswa peserta Dialog Interaktif mengaku mendapatkan pelajaran berharga dari penuturan kisah korban dan mantan pelaku terorisme. Seorang peserta dari SMAN 2 mengatakan bahwa pengalaman hidup penyintas menyadarkannya untuk menjadi pribadi yang tangguh, mampu bertahan saat diterpa berbagai tantangan kehidupan. Peserta lain dari SMAN 9 juga berbagi kesan mengikuti Dialog Interaktif. “Kalau dari kisahnya mantan pelaku saya menjadi paham bahwa kita itu perlu untuk menyadari kesalahan kita sendiri, setelah itu kita bisa melakukan hal-hal lainnya untuk memperbaiki kesalahan kita di masa lampau,” ujarnya.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengharapkan perpaduan kisah penyintas dan mantan pelaku dapat mendorong semangat para pelajar untuk menjadi generasi yang tangguh. Dia menjelaskan, pengalaman penyintas menunjukkan bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. “Kisah korban mengajarkan kita untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Dari mantan pelaku, kita bisa mengambil pelajaran bahwa ketidakadilan tidak semestinya dibalas dengan ketidakadilan lainnya,” kata dia. [F]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XIII Juli 2017.