Mantan teroris, Ali Fauzi berbicara dalam bedah buku di Universitas Brawijaya Malang. (Foto: KORAN SINDO/Yuswantoro)
Home Berita Jalan Panjang Menuju Perdamaian Pascateror Bom Bali
Berita - 10/04/2018

Jalan Panjang Menuju Perdamaian Pascateror Bom Bali

Mantan teroris, Ali Fauzi berbicara dalam bedah buku di Universitas Brawijaya Malang. (Foto: KORAN SINDO/Yuswantoro)
Mantan teroris, Ali Fauzi berbicara dalam bedah buku di Universitas Brawijaya Malang. (Foto: KORAN SINDO/Yuswantoro)

MALANG, iNews.id – Senyum, tawa, dan titik air mata bercampur menjadi satu di forum bedah buku berjudul La Tay`as (Jangan Putus Asa): Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, karya Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi.

Forum diskusi yang digelar di Gedung Nuswantara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) Malang, Kamis (1/3/2018) tersebut bukan sekadar membahas teks ilmiah, tetapi menjadi forum bersama membangun perdamaian mantan teroris dan korbannya.

Ali Fauzi (47), yang merupakan mantan kombatan dan guru merakit bom bagi para pelaku teror di Indonesia dipertemukan kembali dengan Hayati Eka Laksmi (48). Dia adalah istri almarhum Imawan Sarjono, korban ledakan bom Bali I pada 12 Oktober 2002 silam.

Beberapa kali Hayati Eka Laksmi, tidak mampu membendung air mata yang menitik di sudut matanya. “Pada awal bertemu, rasanya saya ingin mencincang Pak Ali Fauzi ini. Tetapi saya menyadari, hanya jalan maaf yang bisa menyelesaikan hal ini. Kemarahan dan kebencian tak akan mampu menghidupkan yang sudah mati,” ujarnya.

Dia sangat bersedih ketika mengingat pertama kali mengetahui suaminya telah meninggal dunia karena menjadi korban ledakan bom di Kuta, Bali. Jenazah suaminya baru ditemukan satu minggu setelah ledakan dahsyat itu terjadi.

Selepas pemakaman jenazah suaminya, persoalan tidak serta merta usai. Justru dia harus menghadapi persoalan baru yang besar. “Saya dari awalnya ibu rumah tangga harus kembali bekerja menghidupi dua anak saya yang masih balita. Anak-anak saya menjadi sangat agresif karena ditinggal pergi bapaknya untuk selamanya,” kenangnya.

Wanita berhijab, guru bimbingan konseling SMP Muhammadiyah Kuta, Bali, tersebut, sering kali menumpahkan kesedihannya di jalan. Dia menangis dan berteriak meluapkan kesedihannya, saat berangkat atau pulang kerja. Hal ini menjadi pilihan karena tidak mungkin menumpahkan kesedihannya saat berada di hadapan kedua puteranya.

Keberadaan kedua anaknya membuatnya terus kuat untuk bangkit. Dibuangnya kebencian di hati karena menyimpan kebencian semakin menambah sakit. Pintu maaf di hatinya terbuka luas karena baginya hanya keikhlasan dan maaf yang bisa meredakan sakit di dalam hati.

Selain terus berupaya membangun ekonomi keluarganya yang ikut porak-poranda, dia juga membangun komunikasi dengan keluarga korban lain. Bahkan, mereka telah mendirikan Yayasan Penyintas Indonesia yang menampung para keluarga korban aksi terorisme.

Semangat untuk bangkit dan menghapus kebencian yang dibangun Hayati Eka Laksmi, bersambut dengan semangat pertobatan dari Ali Fauzi (47). Pria yang sudah makan asam garam di dunia kekerasan dan teror tersebut menangis tertunduk saat bertemu para korban dari bom yang dirakit para mantan muridnya.

Pertemuan-pertemuan dengan para korban bom tersebut, membuatnya termotivasi untuk keluar dari kehidupannya yang tertutup. “Saya memberanikan diri keluar ke publik untuk membangun perdamaian. Untuk mengampanyekan jalan kekerasan atas nama apa pun adalah kesalahan besar,” ujarnya.

Pria yang kini menjadi Direktur Yayasan Lingkar Perdamaian di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, mengambil langkah tegas untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Dia hidup bermasyarakat, mengajak para mantan teroris dan mereka yang masih berada di jalan kekerasan untuk kembali ke masyarakat.

Banyak faktor yang membuat manusia terjerumus kepada jalan kekerasan dan melakukan aksi teror. Faktor ekonomi, politik, pendidikan, dan psikologis, berbaur menjadi satu, mendapatkan dukungan dari lingkungan pertemanan, dan keluarga. “Faktornya beragam sehingga pemerintah harus dibantu untuk menyelesaikan persoalan radikalisme ini. Semua faktor saling berkaitan,” ujarnya.

Di lembaga yang kini dipimpinnya tersebut, terdapat 38 orang mantan teroris. Mereka diajak berkarya di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan untuk memberikan pemahaman tentang toleransi, perdamaian, dan hidup rukun dalam keberagaman di tengah masyarakat kepada anak-anak generasi penerus bangsa.

Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, mengaku sengaja menuliskan seluruh kisah pertemuannya dengan para teroris dan korbannya dalam buku La Tay`as (Jangan Putus Asa): Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya.

Kisah-kisah yang dituliskannya dalam buku tersebut, bukan bertujuan untuk membuat orang menghalalkan atau mengharamkan gerakan radikalisme. Dia ingin, orang membaca kisahnya dan memahami nilainya. “Melalui kisah-kisah tersebut, kita bangun nilai-nilai kemanusiaan,” ujarnya.

Sejak tahun 2013 silam, dia mendirikan Yayasan AIDA. Harapannya, bisa menjadi ruang dialog untuk membangun perdamaian yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan. “Prosesnya berat, butuh waktu yang panjang. Tetapi jalan itu harus ditempuh untuk membangun dan menjaga Indonesia,” tuturnya.

Rekonsiliasi Harus Terus Dibangun

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Abdul A’la, yang hadir sebagai pembicara kunci dalam forum dialog dan bedah buku tersebut mengatakan, rekonsiliasi harus terus dibangun agar perdamaian melalui jalan dialog bisa terus dibangun demi Indonesia.

Keberagaman yang dimiliki Indonesia harus terus dirawat. Termasuk keberagaman manusia di dalamnya. “Manusia pernah melakukan dosa, Tuhan tidak akan mempermasalahkannya kalau manusia tersebut mau dengan tulus ikhlas bertobat. Kekerasan dan klaim kebenaran sepihak harus dihentikan karena melawan nilai kemanusiaan,” tuturnya.

Baginya, mahasiswa sebagai generasi bangsa menjadi penentu masa depan bangsa Indonesia. Mahasiswa diharapkan memiliki pemikiran dan tindakan yang lebih baik, mampu menularkan virus perdamaian, dan saling memaafkan ke seluruh masyarakat.

Pakar terorisme UB Malang, Yusli Efendi menyebutkan, gerakan radikal yang pada akhirnya menebar teror kekerasan di masyarakat, tercipta karena dipicu oleh banyak faktor. Salah satunya dipicu kondisi masyarakat yang semakin eksklusif. Hal itu bisa dilihat dari cara beragama meraka yang berlebihan dan sulit membangun ruang dialog dengan lingkungannya.

“Masyarakat yang eksklusif semakin diperparah dengan pemahaman agama yang dangkal. Kondisi ini bisa menjangkiti siapa saja. Diawali dari kebencian, lalu melakukan mobilisasi massa, dan berujung kepada aksi teror kekerasan,” ungkapnya. [AM]

 

Sumber: inews.id