Kolokium Buku La Tay`as: Mendorong Perdamaian di Kampus

Demikian diungkapkan Nanda Olivia Daniel, penyintas aksi teror bom di Jl. HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan, pada 9 September 2004. Dia menceritakan kisahnya tersebut dalam acara Kolokium dan Bedah Buku La Tay`as : Jangan Putus Asa, Ibroh dari Kehidupan Teroris & Korbannya di Surakarta, Selasa (6/3/2018). Kegiatan ini diselenggarakan berkat kerja sama Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Saat kejadian, Nanda sedang dalam perjalanan ke kampusnya, STIE Perbanas Jakarta, menaiki bus kota. Waktu itu dia hendak melakukan bimbingan skripsi. Dia berdiri di dekat pintu untuk turun dari bus namun tiba-tiba terdorong dengan begitu kencang.
Aksi teror tersebut menyisakan luka dan trauma yang mendalam bagi perempuan berkerudung itu. Di hadapan ratusan peserta Kolokium, Nanda menyampaikan harapan agar di masa depan tidak ada lagi aksi teror di Indonesia sehingga tidak ada lagi orang yang mengalami penderitaan seperti dirinya.
Dalam kegiatan tersebut, selain korban aksi teror hadir pula orang yang pernah bergelut di dunia kekerasan terorisme. Ali Fauzi, mantan anggota kelompok teroris asal Lamongan, berbagi pengalaman hidupnya. Lelaki berperawakan gempal ini menyebut perjalanan hidupnya seperti ulat yang bermetamorfosis menjadi kepompong, kemudian berubah lagi menjadi kupu-kupu. Dahulu, dia memang terjerumus ke dunia kekerasan terorisme, namun dia sudah meninggalkan itu semua dan kini meniti jalan perdamaian.
Pengalaman hidup Nanda dan Ali Fauzi adalah di antara kisah yang menginspirasi penerbitan buku La Tay`as: Ibroh dari Kehidupan Teroris & Korbannya. Penulis buku, Hasibullah Satrawi, mengatakan bahwa metode kisah sengaja dia angkat sebagai perspektif utama dalam karyanya. Landasannya jelas, kata dia, ayat suci Alquran menyatakan bahwa dalam kisah umat terdahulu terdapat ibrah atau pelajaran berharga bagi manusia. Baik kisah yang layak diteladani maupun kisah yang harus dijauhi, lanjutnya, manusia harus mengambil ibrahnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, hadir dalam Kolokium tersebut sebagai keynote speaker. Dalam pidatonya, sosok yang akrab disapa Buya Syafii itu menekankan kepada para mahasiswa agar mewaspadai paham ekstremisme dan terorisme. Dia menyebut para pelaku teror sebagai golongan yang memiliki mazhab ideologi “berani mati karena tidak berani hidup”. Selaras dengan judul buku Hasibullah, La Tay`as/Jangan Putus Asa, Syafii menyebut para teroris adalah kelompok yang putus asa melihat kenyataan.
Terkait klaim para teroris yang menyebut aksi mereka terdorong atas motivasi agama dan keyakinan, Buya Syafii mengatakan tindakan kekerasan yang dilakukan justru menodai dan membunuh agama itu sendiri.
Syafii berpandangan, rekonsiliasi antara mantan pelaku dan korban terorisme adalah contoh konkret dari kemanusiaan. Al-Quran sendiri, kata dia, juga memerintahkan manusia agar memelihara sifat kemanusiaan yang manusiawi.
“Humanity is one. Menyatukan atau rekonsiliasi antara korban terorisme dan mantan pelaku adalah salah satu bentuk nyata dari humanity is one. Selamat kepada Hasibullah atas terbitnya buku ini, dan sayonara,” ujar pendiri Maarif Institute tersebut mengakhiri pidatonya.
Acara Kolokium menjadi semakin hidup saat sesi tanya jawab. Beberapa peserta bertanya seputar metode menata hati agar bisa memaafkan dan bersikap sabar, motivasi orang masuk ke dunia terorisme, dan kiat menghadapi persebaran ekstremisme di masyarakat. Para narasumber juga menanggapi pertanyaan peserta dengan baik.
Wakil Rektor Bidang Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, M. Abdul Fattah Santosa, hadir dalam kegiatan ini sebagai perwakilan UMS. Dia menyampaikan sambutan pembukaan serta merangkum isu perdamaian dan terorisme dari sudut pandang akademik. [AM]