Gejolak Perasaan Pelaku dan Korban Bom Bali Bikin Terenyuh Para Hadirin di UB Malang
KLOJEN – Bukan perkara mudah memaafkan dan berdamai dengan pelaku bom Bali 12 Oktober 2002. Hal inilah yang dirasakan Hayati Eka Laksmi yang suaminya jadi korban bom di kawasan Kuta oleh Amrozi dkk. Hal itu terasakan ketika mereka testimoni di acara seminar dan bedah buku La Tay’as (Jangan Putus Asa) Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya karya Hasibullah Satrawi di aula Fisip Universitas Brawijaya (UB) Malang, Kamis (1/3/2018).
“Butuh waktu lama. 15 tahun. Ketika pertama kali ketemu Pak Ali (Ali Fauzi, adik Amrozi), saya juga ingin mencincangnya,” ujar Eka, guru BK di SMP Muhamadiyah Denpasar, Bali di acara itu.
“Saya marah kan Pak Ali, waktu itu,” tanya Eka kepada Ali Fauzi yang duduk di mimbar. Sedang Eka berdiri menghadap audiens. Ali mengangguk.
“Saya mengatakan ke Pak Ali, bahwa yang dilakukannya bukan jihad. Tapi jahat,” terang ibu dua anak ini.
Sebab kejadian itu membuat anak-anak korban bom Bali jadi anak yatim massal. Yang ia lihat di TKP saat itu saja ada 47 anak. Anaknya saat kejadian itu masih balita. Di satu sisi ia harus kuat di depan anaknya. Namun ia juga tidak mudah menghadapi kenyataan.
“Saya kalau nangis sambil naik motor. Teriak-teriak. Di depan anak, saya harus kuat,” ujar alumnus Psikologi Universitas Muhamamdiyah Malang (UMM) ini.
Wanita Bali ini setelah menikah memutuskan tidak bekerja karena mengasuh anak. Tiba-tiba mendapati suaminya, karyawan PT Angkasa Pura 1 tewas karena bom. Mobil sewaannya ada di dekat lokasi kejadian dalam keadaan hangus. Selama tujuh hari ia mencari jenazah suaminya di rumah sakit di Denpasar. Akhirnya menemukan di RS Sanglah pada kantong jenazah nomer 10.
Tandanya antara lain robekan celana dan kartu PT AP 1. “Saya ingat celana itu karena saya yang membelikan,” kata Eka. Pasca itu, ia membesarkan anaknya yang cenderung agresif. Kesabaran dan kasih sayang menghadapi semua itu menjadi penguat. Ia bercerita, suatu hari, Ali Fauzi menghubunginya.
Hendra, anak Amrozi ingin menemuinya dan minta maaf atas perbuatan ayahnya. Ia menjelaskan ke anaknya soal silaturahmi itu.
“Anak-anak belajar saling memaafkan. Surgamu di sana, Nak,” kata dia ke anaknya. Sebab dendam dan kebencian juga tidak mengembalikan yang sudah meninggal.
“Mas Hendra, anak Amrozi datang dengan gentle. Anaknya tidak tahu salah ayahnya. Saya salut. Anak saya dan Mas Hendra berangkulan. Bahkan ke monumen bom Bali bersama,” ceritanya.
Hendra sudah dianggap sebagai anaknya. Bahkan ia dipanggil Umi. Kisah Eka membuat mereka yang berada di aula itu jadi terharu. Ruang jadi hening. “Ikhlas itu bahagia yang sederhana meski butuh waktu 15 tahun,” kata dia.
Ia memilih bersyiar kedamaian agar tidak ada lagi korban-korban jatuh. Dari para korban bom Bali juga lainnya membentuk yayasan buat saling menguatkan dan mengisi. Sebab mereka jauh dari sentuhan pemerintah.
Perasaan Ali Fauzi
Ia menjelaskan dua kali kejadian bom Bali adalah ia lakukan bersama saudaranya. Ali yang ingin kuliah S3 di Malang pada tahun depan ini menyatakan memang sudah terlatih membuat bom. Kehidupannya dulu juga tertutup. Karena itu keluarga dekatnya juga tidak tahu ia sudah ke mana-mana. Sampai kejadian bom Bali, kakaknya di Lamongan juga tidak percaya itu dilakukan Amrozi Cs.
“Amrozi ketika ditanya kakak saya juga bilang iya ketika apakah ia melakukannya,” ujar Ali, dosen tamu di UGM dan UI.
Dijelaskan juga kronologisnya. Titik balik kehidupannya ketika ia diperlakukan baik usai ditangkap dari Filipina. “Saya diperlakukan manusiawi. Saya dibawa ke RS oleh Pak Tito Karnavian dkk. Mereka mengobati saya. Ini menjadi evaluasi saya. Saya salah,” akunya di acara itu.
Ia kembali ke keluarga dan masyarakat juga tidak apriori. Ia mau bangkit. Klimaksnya ia diundang Google ke Eropa.
“Anda kalah. Mantan teroris saja sampai diundang ke Eropa,” kata Ali kepada para mahasiswa disambung tawa.
Pertemuannya dengan penulis buku juga membuat dia bertemu dengan para korban.
“Saya dipertemukan oleh Pak Hasib. Saya selalu minta maaf kepada mereka. Andai saya di posisi mereka, saya belum tentu mau memaafkan,” ujar Ali.
“Saya rangkul satu persatu,” katanya
Proses metamorfosis dilakukan. Ia kuliah. Kini memiliki Yayasan Lingkar Perdamaian yang membantu pemerintah. Yayasan itu terdiri dari mantan kombatan, napiter yang sudah sadar dan diajak bergabung di dunia perdamaian agar bisa mengembangkan skill dan sisa hidup lebih bermanfaat buat orang lain.
“Tebarkan perdamaian lewat media sosial. Jika perspektifnya sama, maka Indonesia akan damai dan maju,” paparnya.
Ia menyebutkan, orang jadi teroris juga karena pertemanan. Sedang Yusli Effendi, Dosen Fisip UB memuji penulis bagus bisa melobi korban dan pelaku. Dan tidak semua menjadi teroris karena masalah ekonomi.
Penulis buku ini menyatakan pada 2013 bertemu korban dan pelaku bom Bali. “Semakin saya menyelami, saya mendapat ibroh atau pembelajaran di sana. Pak Ali bisa bersanding dengan Bu Eka juga luar biasa,” ujar pria Madura ini.
Sebab kerumitan sangat komplek pada diri korban-pelaku apalagi tidak saling kenal. “Ketika teror terjadi, tidak banyak yang bicara soal korban. Tapi soal penegakan hukum. Padahal sejak itu, argo penderitaan korban mulai berjalan,” papar Hasib.
Perhatian ke korban juga kurang. Banyak yang menangani sendiri. Bahkan ketika datang ke RS saja masih ditanya siapa yang menanggung? Dampak dari terorisme luar biasa. Ada yang meninggal, cacat tetap dan luka bakar 70 persen.
“Saya ambil pembelajaran bahwa tetap penting membawa perdamaian. Pelaku adalah cermin utuh terorisme. Korban adalah cermin utuh sadisme. Dengan saling kerjasama, maka diharapkan tidak ada lagi korban dan pelaku,” pungkasnya. (AM)
Sumber: suryamalang.com