Hikmah Pemaafan

Oleh: Fahmi Suhudi, mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta
“Saya merasa seolah-olah punya utang kepada para korban, karena saya pernah mengajarkan orang-orang cara membuat bom.”
Demikian pengakuan Kurnia Widodo, mantan narapidana kasus terorisme, saat bertemu beberapa penyintas aksi bom dalam program acara Rosi di Kompas TV dengan tema Hijrah untuk Perdamaian yang ditayangkan Kamis (21/9/2017). Kurnia menyebut awal pertemuannya dengan penyintas yang diinisiasi Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menjadi titik balik yang menguatkan komitmennya untuk meninggalkan dunia kekerasaan.
Pengakuan Kurnia ini terlontar bukan tanpa sebab atau tanpa proses panjang atas apa yang telah dilalui dan dilihatnya. Ini adalah semacam self-recognition dan bentuk ketulusan diri meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan terhadap para korban teror. Tentu, positifnya, kini ia merasa lebih memiliki pikiran yang konstruktif untuk masa depan, tak lagi berpikiran untuk menyebarkan paham kekerasan.
Keputusannya untuk hijrah dari dunia kekerasan di atas mengingatkan kita pada sebuah pepatah yang populer dalam tradisi pesantren, al-insānu mahallul khata` wa al-nis yān yang artinya, manusia tempat salah dan lupa.
Pepatah tersebut mengandung pesan universal yang menyasar kepada siapa saja, tak terkecuali mantan pelaku terorisme, dan dalam konteks apa pun. Kurnia mengatakan dahulu dirinya dan para ihwan (Bahasa Arab artinya saudara) berpikiran bahwa aksi-aksi mereka dilakukan untuk memuliakan agama. Menurut pengakuannya, setelah berpikir kritis ia akhirnya menyadari bahwa terorisme sungguh melampaui batas-batas kemanusiaan dan agama.
Sikap melampaui batas kemanusiaan dan nilai agama ini tidak sesuai bahkan sangat bertentangan dengan sabda Nabi:
(أيها الناس! إياكم والغلو في الدين، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين (أخرجه أحمد:1/215، والنسائي:268، وابن ماجه: 3029
Yang artinya: “Wahai manusia, hindarilah sikap berlebih-lebihan dalam beragama, sesungguhnya yang menghancurkan umat sebelum kamu adalah sikap berlebih-lebihan dalam beragama (HR. Ahmad, Al-Nasa`i, Ibnu Majah).
Kurnia mengaku sangat takjub akan keluasan hati korban yang alih-alih membalas kekerasan yang menimpa, mereka malah memaafkan mantan pelaku. Dalam kesempatan taping video untuk acara Rosi malam itu, para penyintas terorisme mengulangi pemaafan mereka terhadap masa lalu Kurnia atau mantan pelaku lainnya.
Terkait sifat pemaaf yang dimiliki korban, sejenak kita bisa belajar dari testimoni keluarga korban aksi teror bom di tiga gereja di Surabaya Mei lalu, Catur Giri Sangkowo (47). Almarhum Catur merupakan petugas penjaga keamanan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) yang beralamat di Jl. Arjuna Kota Surabaya. Meskipun bekerja di gereja, Catur ialah seorang muslim.
“Biasa saja, kalau salat ya salat. Seperti orang Islam lainnya,” ujar putra Catur, Marvel Putra Hasinata Casa (20), di Surabaya, Sabtu (19/5/2018) seperti dikutip detik.com. Catur meninggal dunia setelah lima hari dirawat di rumah sakit akibat luka bakar 80 persen efek dari bom yang juga menghanguskan beberapa kendaraan yang diparkir di gereja.
Keluarga menganggap Catur selama ini sebagai tulang punggung sekaligus kepala rumah tangga yang penyayang. Kinerjanya sebagai karyawan selama ini juga terhitung baik. Catur sudah bekerja sebagai petugas keamanan di GPPS selama 25 tahun. Atas takdir yang telah terjadi Marvel dan ibunya mengaku telah merelakan kepergian Catur kehadirat-Nya. “Kami sudah ikhlas dan sama sekali tidak ada firasat apa pun saat ayah berangkat kerja dan terakhir ketemu Sabtu malam, ayah di luar rumah main handphone tidak bicara apa pun,” kata Marvel.
Dari testimoni keluarga korban kita menyadari betapa perihnya kehilangan orang terkasih, apalagi bila kepergiannya diakibatkan oleh kejahatan yang melampaui batas kemanusiaan seperti terorisme. Kita juga mesti semakin mewaspadai penyebaran paham terorisme yang sangat berbahaya, menimbulkan kerusakan dan menyalahi ajaran suci agama. Pada saat yang sama, kita bisa menyerap pelajaran dan hikmah yang luhur tentang sifat pemaaf yang ditunjukkan para korban atau keluarganya.
Memaafkan penting dilakukan demi membuka harapan bagi masa depan yang lebih baik, serta sebagai upaya berdamai dengan kondisi yang ada sehingga kita bisa move on.
Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang berhak mencabut nyawa orang lain. Karena itu di dalam Alquran disebutkan bahwa orang yang membunuh satu orang manusia saja, dinilai dia seolah-olah membunuh seluruh umat manusia.
Pemaafan dari korban terhadap mantan pelaku narapidana terorisme bagi penulis merupakan semangat bina-damai dan rekonsiliasi perdamaian yang sesuai dengan nilai agama Islam. Allah Swt berfirman dalam Alquran:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Yang artinya: “Berikanlah maaf dan perintahkanlah kepada kebaikan, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199).
Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir yang hidup pada abad ke-8 H memahami ayat ini sebagai prinsip dasar seorang muslim yang seyogianya selalu ditanamkan dalam diri. Yaitu, memberikan maaf dan menyeru kepada kebajikan dan kebaikan.
Hemat penulis, pribadi yang memaafkan sejatinya telah menyelamatkan dirinya untuk tidak larut dalam kesedihan dan keterpurukan di satu sisi, dan di sisi lain memberikan harapan kepada orang yang salah untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tanpa memaafkan, kita hanya akan terjebak dalam lingkaran balas dendam yang tiada batas.
Mari menebarkan kasih sayang di antara kita. Wallahu al-Musta’an.