Kepala SMKN 2 Bima, Muhammad Badrun, S.Kom, Memberikan Sambutan Dalam Pembukaan Dialog Interaktif Menjadi Generasi Tangguh, Jum'at (19/10/18)
Home Berita Menjaga Kedamaian di Tanah Sumbawa
Berita - 29/10/2018

Menjaga Kedamaian di Tanah Sumbawa

“Alhamdulilllah setiap hari kita selalu diberikan keberkahan. Dari semua keberkahan yang paling utama adalah kesehatan dan kedamaian. Dengan sehat kita bisa melakukan apa-apa, namun walaupun kita sehat kita tetap tidak bisa melakukan apa-apa jika kita dalam keadaan bergolak atau keadaan tidak damai. Maka dibutuhkan sehat dan dibutuhkan kedamaian agar apa yang dicita-citakan kita semua dan bangsa ini dapat terwujud.”

Kepala SMKN 2 Bima, Muhammad Badrun, S.Kom, Memberikan Sambutan Dalam Pembukaan Dialog Interaktif Menjadi Generasi Tangguh, Jum'at (19/10/18)
Kepala SMKN 2 Bima, Muhammad Badrun, S.Kom, Memberikan Sambutan Dalam Pembukaan Dialog Interaktif Menjadi Generasi Tangguh, Jum’at (19/10/18) yang Diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Dok: AIDA

Demikian sambutan Kepala Sekolah SMKN 2 Kota Bima, Muhammad Badrun, S.Kom, dalam kegiatan Dialog Interaktif dengan tema “Belajar Bersama menjadi Generasi Tangguh” pertengahan Oktober lalu. Kegiatan ini adalah salah satu rangkaian safari kampanye perdamaian yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Selain di SMKN 2 Kota Bima, Dialog Interaktif juga diselenggarakan di SMAN 4 Kota Bima, SMAN 5 Kota Bima, SMAN 1 Dompu, dan SMAN 2 Dompu.

Di setiap sekolah kegiatan Dialog Interaktif dihadiri sekitar 50 siswa. Cuaca panas di Pulau Sumbawa saat kemarau tidak menyurutkan semangat mereka mengikuti kegiatan dan menyimak materi dari para pembicara.

Di antara pembicara dalam kegiatan tersebut adalah Choirul Ihwan, seorang mantan narapidana kasus terorisme. Dia menyampaikan pengalamannya terjerumus ke dunia kekerasan. Seiring waktu dia menyadari kekeliruan doktrin-doktrin keagamaan yang diajarkan kelompoknya. Dia mengatakan semenjak bergabung dengan kelompok kekerasan hubungannya dengan keluarga menjadi rusak. Ketika menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan dia dipertemukan dengan korban terorisme. Setelah mendengarkan kesaksian korban, ia menjadi semakin yakin untuk meninggalkan kelompok kekerasan sebab aksi mereka telah menghancurkan kehidupan orang tak bersalah. Ia pun meminta maaf kepada korban.

“Saya merasa sangat kerdil di hadapan seseorang dengan kesabaran yang luar biasa dan semangat yang luar biasa untuk hidup setelah terkena ledakan bom. Itu membuat saya merasa bersalah sekali,” ungkapnya.

Choirul juga menekankan kepada para pelajar peserta Dialog Interaktif untuk mawas diri, tidak terjerumus ke dalam dunia kekerasan serta lebih peduli terhadap perdamaian. Dia juga berpesan agar ketidakadilan yang terjadi tidak dibalas dengan menciptakan ketidakadilan lainnya.

Pembicara lain dalam Dialog Interaktif adalah penyintas terorisme. Dalam kesempatan di Kota Bima, dua orang penyintas menjadi pembicara Dialog Interaktif. Mereka adalah Iswanto Kasman, penyintas Bom Kuningan 2004, dan I Wayan Sudiana, penyintas Bom Bali 2002.

Iswanto menceritakan pengalamannya menjadi korban ledakan bom di Kedutaan Besar Australia di Jl. HR Rasuna Said kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004. Hari itu dia sedang bertugas sebagai petugas keamanan di Kedutaan. Ledakan bom memaksanya harus kehilangan penglihatan sebelah kanannya.

Aksi teror yang menyebabkan dirinya cacat seumur hidup itu membuatnya berpikir beberapa saat ketika dihadapkan dengan pertanyaan hakim dalam persidangan pelaku teror Bom Kuningan, “Apakah saudara memaafkan pelaku?” Iswanto terdiam cukup lama, sempat ragu apakah bisa memaafkan pelaku yang telah membuatnya sengsara dengan puluhan titik luka di sekujur tubuhnya hingga cacat di mata kananya. Meski bukan hal mudah, dia memantapkan hati untuk memaafkan. “Baik Pak Hakim, saya memaafkan pelaku, dengan kesungguhan hati saya, saya tidak akan membalas kekerasan dengan kekerasan,” kata dia.

Penderitaan akibat ledakan bom juga dirasakan oleh I Wayan Sudiana. Pada 12 Oktober 2002 dia kehilangan istri tercintanya akibat ledakan bom di daerah Legian, Bali. Peristiwa itu membuatnya terpuruk, membekaskan trauma dan kesedihan bagi dirinya dan dua putranya. Seiring waktu dia mencoba tabah atas musibah itu. Teringat akan tanggung jawabnya untuk membesarkan anak, akhirnya Wayan mampu bangkit dan mengesampingkan kepedihan yang telah berlalu. Saat dipertemukan dengan mantan pelaku terorisme pun dia lebih memilih memaafkan serta tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.

Para peserta menyambut baik kegiatan Dialog Interaktif diselenggarakan di sekolah mereka. Sebagian siswa mengatakan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari kisah korban dan mantan pelaku. Beberapa dari mereka mengharapkan kegiatan serupa dapat diselenggarakan lagi di sekolah mereka. [SWD]