Peran Santri dalam Membina Perdamaian

Oleh: Fahmi Suhudi, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
April 2015 Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan hari santri ini dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi terhadap kalangan santri -tentu saja termasuk kiai- atas perjuangan mereka dalam membela kemerdekaan bangsa Indonesia. Jika dahulu santri menjadi penggerak untuk kemerdekaan, pertanyaan konteks sekarang, sejauh mana santri menjadi motor perdamaian?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kiranya penting untuk mengulas survei terbaru PPIM UIN Jakarta. Pada 16 Oktober 2018 PPIM menerbitkan hasil survei yang menyatakan bahwa 63,07% guru muslim memiliki sikap intoleran terhadap pemeluk agama lain, serta 46,09% guru memiliki opini radikal. Yang juga cukup mengkhawatirkan dari survey tersebut, dilihat dari sisi intensi-aksi -bukan sekadar opini- sebanyak 37,77% guru intoleran serta 41,26% radikal. Survei tersebut melibatkan 2.237 guru beragama Islam dari tingkat TK/sederajat hingga SMA/sederajat di 34 provinsi (77 kabupaten/kota terpilih). Survei dilakukan pada Agustus-September 2018 dengan metode proportional random sampling, dengan margin of error di kisaran 2,07% dan tingkat kepercayaan 95%.
Setahun sebelumnya, PPIM juga membuat survei yang hasilnya menunjukkan bahwa guru berperan signifikan dalam menumbuhkan opini toleran atau pun radikalisme pada siswa. Dari survei-survei tersebut dapat dipahami bahwa radikalisme secara nyata telah menyusup dalam interaksi antara guru dan siswa di banyak lingkungan pendidikan kita.
Dalam hemat penulis, tantangannya sekarang adalah bagaimana pemahaman keagamaan yang moderat harus dikedepankan sehingga pengajaran yang radikal dapat diminimalisir. Dari sini penulis melihat santri berpotensi besar untuk mengambil peran dalam mengarusutamakan moderatisme Islam. Sebagaimana sosok kiai yang kedudukannya cukup vital di lingkungan pesantren, posisi santri di tengah masyarakat bisa menjadi kunci kemajuan kehidupan sosial keagamaan.
Berbekal pengalaman menimba ilmu di pesantren selama bertahun-tahun, seorang santri dituntut mampu mengimplementasikan nilai-nilai kerahmatan Islam di kehidupan masyarakat. Penulis berpandangan, upaya santri menyebarkan moderatisme Islam kepada publik masa kini sangat selaras dengan filosofi dakwah Islam mula-mula di Indonesia yang dijalankan Wali Songo.
Fakta sejarah menunjukkan Islam masuk ke dan tersebar di Indonesia melalui jalur perdamaian, bukan kekerasan. Para wali juga mengutamakan jalur kultural dalam mengenalkan dan menyebarluaskan Islam. Sunan Bonang memanfaatkan bedug sebagai penanda waktu sekaligus menarik simpati masyarakat Jawa yang saat itu menganut kepercayaan animisme atau dinamisme. Sunan Kalijaga mengakomodasi acara hiburan wayang dengan menyelipkan pesan-pesan agama. Semangat-semangat para wali inilah yang harus dimiliki santri masa kini dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.
Kata santri disebut-sebut merupakan perubahan dari kata cantrik dalam bahasa Jawa, yang merujuk pada sekelompok orang yang tekun menimba ilmu agama di langgar. Dalam konteks sekarang santri tidak terbatas hanya di langgar atau masjid, atau pesantren. Dunia telah berubah. Santri kini bisa menimba ilmu agama dari sumber atau guru yang otoritatif tanpa melakukan pertemuan dalam arti fisik. Orang bisa mengkaji ilmu agama layaknya talaqiy (belajar intensif secara privat) kepada seorang alim dengan memanfaatkan teknologi informasi. Orang yang tekun menggali dan mempelajari agama melalui internet sekali pun bisa disebut santri.
Sebagaimana perkataan KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam akun media sosialnya bahwa santri adalah siapa saja mereka yang berakhlak seperti santri. Yaitu mereka yang dididik dengan kasih sayang dan menyebarkan perdamaian dan saling mengasihani sesama makhuk ciptaan Tuhan. Sebagaimana santri juga mereka yang mencintai tanah airnya dan menghargai tradis masyarakatnya (tempat di mana mereka lahir dan tumbuh).
Dalam konteks era milenial saat ini, santri dituntut selektif memilih dan menentukan guru yang dapat mengarahkannya pada kebaikan. Alasannya, banyak juga guru, ustaz, atau kiai yang tidak menampakkan ajaran Islam yang moderat, bahkan cenderung intoleran terhadap umat agama lain, atau lebih parah lagi mengajarkan radikalisme. Ustaz atau kiai semacam ini gemar menyesatkan atau mengafirkan orang lain yang tidak bersepaham dengannya. Sekali lagi, santri milenial harus mewaspadai kiai semacam ini.
Sebagai seorang yang pernah ‘mondok’ di pesantren, penulis sering mendengar nasihat dari para kiai saat membacakan kitab fikih I’anat al-Thalibin karya Syekh Abu Bakar al-Syatah. Nasihat tersebut berbunyi, “wa man yuridillahu bihi khoiron yufaqqihhu fi al-din”. Artinya, barang siapa yang Allah inginkan kebaikan pada dirinya, maka ia akan diberikan pemahaman dalam masalah agama. Petuah ini konon diambil dari doa Nabi Muhammad Saw kepada sahabat Abdullah bin Umar, “Allahumma faqqihhu fi al-din wa ‘allimhu al-ta’wil” yang artinya Ya Allah, berikanlah pemahaman kepadanya tentang agama dan ajarakan kepadanya penafsiran agama.
Dari nasihat-nasihat kiai serta doa Rasulullah Saw di atas santri harus menyerap satu nilai bahwa belajar adalah proses tanpa henti untuk memberikan kebaikan dan kedamaian bagi manusia. Santri harus terus belajar.
Selamat Hari Santri Nasional 2018, mari kita semarakkan pesan perdamaian, “BERSAMA SANTRI DAMAILAH NEGERI INI”.