Bersinergi Merawat Keindonesiaan

ALIANSI INDONESIA DAMAI (AIDA) – “Bertahun-tahun saya hidup dengan penyakit itu, sekarang saya sudah sembuh dan insyaallah menyembuhkan.”
Demikian Ali Fauzi, seorang mantan anggota kelompok teroris Jemaah Islamiyah, mengatakan di hadapan ratusan peserta Seminar Sehari “Halaqah Keindonesiaan: Belajar dari Rekonsialiasi Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” di kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kamis (1/11/2018). Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial UNJ.
Ali mengatakan bahwa penyakit yang dia maksudkan adalah ideologi kekerasan yang dibalut dengan ajaran agama. Dia mengakui pernah mengidap penyakit itu selama bertahun-tahun. Doktrin terorisme yang ditekankan dalam kelompoknya menjadikan hatinya penuh akan kecurigaan, kebencian, dan permusuhan terhadap pengelola Negara serta pihak-pihak yang dipersepsikan sebagai musuh. Dia merasakan ideologi teror itu pula yang mendorongnya untuk malang melintang di dunia konflik kekerasan baik di dalam maupun luar negeri.
“Ibarat sebuah penyakit, terorisme ini termasuk penyakit yang sudah mengalami komplikasi, butuh dokter spesialis dan juga kampanye pencegahan dari orang-orang yang pernah mengalami penyakit ini,” ucap pria asal Lamongan itu.
Menangkal ideologi kekerasan, kata Ali, bukanlah kewajiban satu pihak saja melainkan juga menjadi tugas masyarakat secara umum. Berdasarkan pengalamannya, perhatian pemerintah dan masyarakat sipil telah membantunya sembuh dari penyakit ideologi kekerasan. Salah satu yang dia sebutkan adalah dukungan dari komunitas korban terorisme yang mengampanyekan perdamaian bersama AIDA.
Ali Fauzi mengaku terenyuh akan kelapangan hati korban yang memaafkan dirinya sebagai individu yang pernah bergabung dengan kelompok teroris. Saat bicara dalam Seminar secara pribadi dia mengulangi permohonan maafnya kepada korban aksi terorisme, khususnya kepada Ni Luh Erniati, janda korban Bom Bali I 2002. Pasalnya, tiga saudaranya adalah di antara para pelaku aksi terorisme yang memakan korban terbanyak sepanjang sejarah Indonesia itu.
Erni, sapaan Ni Luh Erniati, menghadapi berbagai tekanan hidup seorang diri setelah suaminya meninggal dunia menjadi korban ledakan Bom Bali, 12 Oktober 2002. Ketabahan hatinya diuji hingga titik nadir karena di satu sisi dia harus tetap melanjutkan kehidupan serta membesarkan dua buah hatinya yang masih belia, padahal di sisi lain dia mengalami trauma yang luar biasa akibat tragedi bom. Dia mengaku pernah mengalami blank spot, kondisi kejiwaan di mana tiba-tiba dia tidak bisa melakukan aktivitas yang biasa sehari-hari dikerjakan.
Dia bersyukur seiring waktu bisa mengatasi kepedihan akibat bom, dan melalui tangan orang-orang baik Tuhan membimbingnya untuk menemukan jalan rezeki yang bisa menopang kebutuhan diri dan keluarganya.
Pada tahun 2014 Erni dipertemukan dengan Ali Fauzi dalam sebuah kegiatan AIDA. Dia mengakui tidak mudah untuk membangun interaksi dengan orang yang pernah berada di dalam jaringan kekerasan terorisme. Meski sempat menaruh kesal, dia bersyukur bisa meredam amarah di hati dan dengan legawa dia menerima permintaan maaf Ali Fauzi.
“Saya berlapang dada menerima kenyataan hidup sehingga tidak menjadi beban. Terus menyimpan dendam tidak akan membuat suami saya kembali. Membalas kekerasan dengan cara kekerasan juga tidak akan mengobati kehilangan saya,” ujarnya.
Penuturan kisah Erni dan Ali Fauzi mengajarkan para peserta Seminar bahwa sinergi antarelemen bangsa, tak terkecuali korban dan mantan pelaku terorisme, merupakan hal yang sangat penting dan berguna untuk melestarikan perdamaian dan keindonesiaan.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan bahwa dari kisah para korban dan mantan pelaku terorisme bisa dipetik banyak pelajaran berharga. Rekonsiliasi yang terbentuk di antara korban dan mantan pelaku menurutnya bisa mejadi inspirasi anak-anak bangsa untuk merajut sinergi yang kuat demi merawat keindonesiaan. “Kita bisa belajar keluasan hati korban yang mengajarkan agar tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Dari sisi mantan pelaku, kita belajar untuk tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan lainnya,” kata dia.
Tak kurang dari 245 orang menjadi peserta Seminar Sehari “Halaqah Keindonesiaan: Belajar dari Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku Terorisme”. Sebagian peserta adalah mahasiswa dari UNJ serta beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Di antaranya Universitas Ibnu Chaldun, Universitas YARSI, Universitas Pamulang, Universitas Islam Jakarta, Universitas Islam As-Syafi’iyah, Universitas Al Azhar Indonesia, Universitas Nahdhatul Ulama, dan beberapa kampus lainnya. [MSH]