Ilustrasi Perdamaian Dunia
Home Tajuk Menjaga Kedamaian di Tahun Politik
Tajuk - 07/02/2019

Menjaga Kedamaian di Tahun Politik

ALIANSI INDONESIA DAMAI – Saat ini bangsa Indonesia tengah diuji. Iklim politik jelang Pemilihan Umum 17 April 2019 cenderung membelah bangsa ini ke dalam segregasi kawan dan lawan. Semakin hari makin jamak perbincangan politik dengan menggunakan bahasa “kami” melawan “mereka” dan bukan bahasa “kita” sebagai bangsa. Hari ini, perbedaan dan pertentangan dipertontonkan sedemikian vulgar sehingga seakan-akan tidak ada lagi hal yang menyatukan.

Saban hari kegaduhan politik mewarnai ruang publik sehingga masyarakat juga ikut terprovokasi masuk ke jurang perpecahan “kawan dan lawan”. Ujian bangsa ini makin kompleks ketika penyebaran informasi bohong marak terjadi. Tidak main-main, kabar bohong bisa menciptakan konflik dan kegaduhan, seperti kondisi kehidupan sosial kita saat ini baik di dunia nyata maupun maya. Tak heran bila Al-Quran menyebutkan bahwa fitnah lebih keji dan berbahaya dari pembunuhan (QS. 2: 191). Dalam pembunuhan, pelaku dan korbannya sangat spesifik. Namun, kejahatan fitnah tak hanya bisa membunuh karakter seorang individu tetapi juga mematikan nalar jernih publik secara umum.

Dalam situasi kehidupan sosial yang saling kubu-kubuan saat ini, semua pihak harus saling menahan diri, mencegah berbagai hal yang bisa memicu perpecahan. Bila perdamaian sudah terkoyak, dampaknya akan sangat merugikan bangsa. Indonesia pernah mengalaminya pada masa awal Reformasi ketika konflik komunal meletup di Maluku dan Sulawesi Tengah.

Ilustrasi Perdamaian Dunia
Ilustrasi Perdamaian Dunia. Image: Kompasiana

Rentetan kekerasan terorisme juga kemudian menyusul konflik-konflik tersebut, mulai dari Bom Bali I pada 2002, Bom Bali II pada 2005, Bom JW Marriott pada 2003, Bom Kedubes Australia pada 2004, Bom Marriott dan Ritz Carlton pada 2009, Bom Thamrin 2016, Bom Kampung Melayu pada 2017, hingga yang belum lama berlalu adalah Bom Surabaya 2018. Ratusan nyawa telah melayang dan banyak lainnya mengalami penderitaan yang tak terperi akibat aksi teror. Bagi korban langsung, tragedi terorisme menyematkan kecacatan untuk seumur hidup atau setidaknya bekas luka atau penurunan daya fisik serta trauma. Bagi korban tak langsung, yaitu ahli waris atau keluarga yang ditinggalkan, terorisme telah menciptakan perempuan-perempuan menjadi janda, para suami menjadi duda, anak-anak menjadi yatim piatu, serta penderitaan hidup yang lama.

Derita para korban adalah cermin nyata dari hilangnya perdamaian. Cukuplah penderitaan korban menjadi pembelajaran bagi bangsa ini.

Di samping itu, bila konflik benar-benar terjadi akibat dari ketiadaan upaya menjaga perdamaian tidak hanya dalam konteks perpolitikan, sungguh hal itulah sebenarnya yang dinanti sebagian ekstremis/teroris, yang menghendaki keruntuhan tatanan kenegaraan modern, termasuk Indonesia. Pengakuan sebagian mantan pelaku terorisme, konflik horizontal adalah kunci pemicu terjadinya perang untuk melegitimasi aksi-aksi teror. Karena dalam keadaan konflik mereka bisa menciptakan masyarakat basis (qaidah aminah) dan mereka leluasa untuk mengundang simpati para kombatan pendukung mereka, termasuk dari luar negeri.

Oleh karena itu paradigma politik yang harus dikembangkan adalah bahwa politik harus mendewasakan masyarakat dalam berdemokrasi, sesuai dengan tujuan pemilu, yaitu untuk menghadirkan pemimpin yang adil dan mampu mewujudkan kemakmuran bagi bangsa dan negara. Para elite hendaknya menunjukkan kehangatan dan jalinan persaudaraan meskipun berbeda sikap politik. Partai politik dan pendukungnya juga semestinya tidak memproduksi informasi bohong yang bersifat menghasut, menebar kebencian dan permusuhan. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat pun diharapkan dapat mengawal pemilihan umum agar berlangsung adil dan lancar.

“Marilah kita menjaga perdamaian. Perdamaian bukan hanya tanggung jawab korban atau mantan pelaku saja, tapi perdamaian adalah tanggung jawab kita semua.” Demikian kata seorang korban Bom Kedubes Australia tahun 2004.