Resolusi Untuk Korban Terorisme
Home Tajuk 2019: Resolusi Untuk Korban Bom Terorisme
Tajuk - 07/01/2019

2019: Resolusi Untuk Korban Bom Terorisme

ALIANSI INDONESIA DAMAI – Tanpa terasa kita memasuki tahun baru 2019. Sepanjang tahun lalu kita telah melalui berbagai dinamika. Perjalanan Indonesia sebagai bangsa tak lepas dari banyak tantangan dan rintangan. Kekerasan dan aksi terorisme masih terjadi di berbagai tempat hingga memakan korban yang terbilang besar. Puluhan nyawa melayang, ratusan keluarga menderita karena ditinggal meninggal oleh anggota keluarga yang menjadi tulang punggung kehidupannya. Sebagian korban lain, masih harus menjalani pengobatan akibat derita luka yang dialaminya.

Masih teringat jelas dalam ingatan. Di awal tahun lalu, kita dikejutkan oleh kekerasan berupa penyerangan terhadap gereja St Lidwina, di Sleman (11/02). Ketegangan kembali terjadi ketika narapidana terorisme mengambil alih Rutan Mako Brimob, Depok (8/5). Di Surabaya, untuk pertama kalinya di Indonesia, bom bunuh diri dilakukan oleh sekeluarga inti. Ayah, ibu bahkan anak-anak mereka dilibatkan dalam pengeboman di tiga gereja di Surabaya; Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Pantekosta Jalan Arjunan, dan GKI di Jalan Diponegoro (13/5). Di malam harinya, ledakan juga terjadi di rumah susun Wonocolo di Sidoarjo.

Aksi-aksi kekerasan sepanjang tahun itu telah memakan korban yang besar. Mereka sesungguhnya korban yang kebetulan terdampak atas serangan yang sebenarnya ditujukan kepada negara. Maka jaminan negara untuk melindungi korban dan memenuhi hak-haknya menjadi keniscayaan. Jaminan itu tidak hanya pada perlindungan fisik atas keamanan diri pribadi, namun juga mencakup layanan pemulihan, baik secara psikis maupun ekonomi. Hal itu bisa diwujudkan dalam bentuk layanan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, dan termasuk salah satunya adalah kompensasi atau ganti rugi kerugian oleh negara.

Kabar baiknya, sebagian korban telah dipenuhi hak-haknya. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah memberikan kompensasi kepada tiga korban penyerangan Gereja Santa Lidwina, Sleman. Sebelumnya, pada tahun 2017, LPSK juga telah memberikan kompensasi terhadap korban ledakan bom di Samarinda. Sementara itu, pada tahun 2018 LPSK juga memberikan kompensasi pada korban aksi terorisme di Jalan Thamrin dan Kampung Melayu Jakarta, juga korban aksi terorisme di Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara serta aksi terorisme di Bima, Nusa Tenggara Barat.

Kabar baiknya lagi, pada bulan Juni 2018 pemerintah telah mengesahkan undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU yang mengatur pemenuhan hak korban terorisme. Meskipun demikian, dilihat dari perspektif korban, UU itu menjadi problematik. Sebab, dalam UU itu, mekanisme pemberian kompensasi bagi korban lama diatur oleh peraturan pemerintah (PP). Namun, PP yang dimaksud belum disahkan.

Itu artinya, mekanisme pemberian kompensasi bagi para korban terorisme sangat tergantung dengan peraturan pemerintah yang hingga sekarang belum disahkan. Secara jumlah, korban lama sangatlah banyak sejak terjadi peristiwa teror bom terbesar di Bali pada tahun 2002. PP tersebut akan memberi penjelasan lebih lanjut tentang beragam persyaratan yang harus dipenuhi korban lama, seperti persyaratan administratif. Pengesahan PP yang berlarut-larut tentu bisa memperpendek waktu para korban untuk memperoleh kompensasi.

Kita penting mengingatkan, pemberian kompensasi kepada korban aksi terorisme merupakan mandat dari pelaksanaan Undang-Undangan (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tidak boleh tidak, pemerintah hendaknya segera mengesahkan peraturan tersebut. Sebab, kompensasi merupakan wujud nyata kehadiran negara kepada korban. Tahun 2019 adalah resolusi untuk korban terorisme sekaligus pengingat bahwa penanggulangan aksi terorisme bukan hanya pada proses penegakan hukum yang harus dilakukan, tetapi juga upaya pemulihan korban yang begitu besar jumlahnya. (AH)