Asa Penyintas pada Mahasiswa
Aliansi Indonesia Damai- Penyintas terorisme adalah bukti nyata kekejaman aksi kekerasan. Beberapa penyintas harus menderita seumur hidup lantaran kehilangan anggota tubuhnya, sebagian lain harus berjuang sendirian menafkahi dan membesarkan anak-anaknya karena suami/istrinya meninggal akibat aksi terorisme. Kendati demikian banyak penyintas yang berjiwa besar. Tak sekadar bangkit dari keterpurukannya, mereka dengan ikhlas memaafkan pelaku terorisme.
Dalam kegiatan Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Mahasiswa di Kota Malang, beberapa hari lalu, AIDA menghadirkan sejumlah penyintas terorisme, yaitu Yuni Karta (korban Bom Kuningan 2004), Desmonda Paramartha (korban Bom Surabaya 2018), dan Tasdik Saputra (korban Bom Kampung Melayu 2017). Di hadapan puluhan mahasiswa aktivis, para penyintas berbagi pengalaman sebagai korban terorisme sekaligus menitipkan pesan-pesan perdamaian.
Baca juga Menebar Antivirus Ekstremisme
Dalam paparannya, Tasdik bercerita bahwa malam itu dirinya sedang mengendarai sepeda motor melintasi kawasan Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur. Terdengar ledakan dan disusul suara orang-orang meminta pertolongan. Ia pun berhenti dan berniat membantu para korban. Namun tak disangka saat sedang mengangkat korban yang tergeletak, muncul ledakan kedua yang berjarak sekitar tiga meter dari posisinya berada. Ia mengalami cedera di beberapa bagian tubuhnya dan dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani perawatan selama beberapa hari.
Tentu semua orang, termasuk mahasiswa pasti tidak menginginkan peristiwa seperti yang menimpanya terulang. Karena itu Tasdik berharap agar mahasiswa bisa menjadi pelopor perdamaian, minimal di lingkungan kampus masing-masing. Aksi-aksi kekerasan atas nama agama, menurut Tasdik bukanlah ajaran dari agama itu sendiri. “Pasti mahasiswa tidak setuju kalau ada orang-orang yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai ajaran agama. Saya tidak setuju aksi-aksi kekerasan, kita semua butuh perdamaian,” tuturnya.
Baca juga Membentengi Kampus dari Ekstremisme
Tasdik berusaha berpikir positif bahwa apa yang telah terjadi sebagai ketetapan Allah. Maka lebih baik menyerahkannya kepada Allah. Ia juga tidak menaruh dendam terhadap pelaku teror. Ia meyakini apa yang dilakukan pelaku akan mendapatkan pembalasan yang setimpal, baik di dunia maupun akhirat. “Pemerintah sendiri pasti sudah punya aturan hukum, dan di akhirat pasti ada balasan dari Allah,” ujarnya.
Cerita hampir sama terjadi pada korban lain, yakni Yuni Karta. Ia terkena ledakan bom ketika melintasi Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Mulanya ia mengira ban mobil yang ditumpanginya pecah sehingga berjalan oleng dan seperti terbang. Namun ia lantas sadar bahwa dirinya terdampak ledakan bom yang menyasar Kedutaan Besar Australia. Ia mengalami sejumlah luka dan cedera serius sehingga harus menjalani perawatan intensif.

Setelah kejadian itu, Yuni Karta mengaku trauma. Kendati demikian, berkat dukungan suami dan anak-anaknya ia berhasil melawan trauma dan rasa sakit. Kini ia bisa beraktivitas normal meski tak sepenuhnya pulih seperti sedia kala. Yuni menganggap kejadian itu sebagai ketetapan Allah yang harus ia terima. “Saya mungkin pilihan Allah untuk menerima ketentuan-Nya,” tutur Yuni.
Berbeda dengan Tasdik dan Yuni, Desmonda Paramartha mengalami ledakan ketika tengah membantu pelaksanaan misa di sebuah gereja di Surabaya. Ia masih mengingat betul ketika pelaku yang mengendarai motor berusaha menerobos halaman gereja kemudian meledakkan diri. Beberapa waktu usai musibah itu, ia sempat trauma. Namun ia berusaha melawan ketakutan itu. “Kalau saya takut, itu artinya saya kalah sama para pelaku,” ucapnya.
Baca juga Menghindari Paham Ekstremisme di Media Sosial
Desmon, sapaan akrabnya, lantas mengajak mahasiswa untuk belajar memaafkan orang yang pernah berbuat buruk terhadap masing-masing kita. Memaafkan justru bisa mengobati keadaan. Meskipun sulit, ia mengaku telah memaafkan pelaku Bom Surabaya. “Saya memaafkan agar para pelaku beristirahat dengan tenang. Semoga bisa bertemu dan berkumpul bersama keluarga mereka,” katanya.
Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan aktivis mahasiswa dari tujuh perguruan tinggi di Jawa Timur, antara lain Universitas Negeri Surabaya, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Jember, dan Universitas Negeri Malang. [AH]
Baca juga Saatnya Mahasiswa Menebar Damai