Berdamai Sejak Dalam Pikiran
Oleh: Novi
Mahasiswi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Aliansi Indonesia Damai- Dalam buku Criminology of Peacemaking, Harold Pepinsky dan Richard Quinney mengungkapkan bahwa tanpa rasa damai dalam diri dan tindakan kita, tidak mungkin perdamaian itu akan terwujud. Perdamaian adalah kunci. Meski demikian, nyatanya perdamaian tidak bisa diraih semudah itu. Pasalnya dalam kehidupan pasti ada tekanan, masalah hidup, kegelisahan, dan lain sebagainya.
Kita pasti pernah merasakan sakit fisik maupun psikis di dalam hati maupun pikiran. Pada saat seperti itu, pikiran buruk kerap menghantui kita, sehingga potensi untuk melakukan hal-hal buruk bisa saja terjadi. Pikiran negatif bisa mengarah pada lingkungan yang tidak damai, bahkan terjadinya kekerasan. Wilayah dengan tingkat kriminalitas tinggi hampir bisa dipastikan lantaran banyak penduduknya yang memendam pikiran-pikiran negatif.
Baca juga Gerakan Positive Peace
Kita bisa mengambil pembelajaran dari kisah WNI simpatisan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sebagian dari mereka memilih bergabung dengan kelompok ekstrem tersebut lantaran kecewa terhadap sistem sosial dan politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga merasa terasing dari kehidupan di tanah airnya. Mereka lantas memilih berhijrah ke Suriah karena membayangkan rezim ISIS telah menjalankan syariat Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan masyarakatnya secara holistik.
Dari fakta ini, kita bisa mengambil pembelajaran bahwa seseorang memilih bergabung dengan jaringan kekerasan lantaran kekecewaan dan perasaan keterasingan dalam diri sendiri. Karena itu penting untuk membantu mereka menghentikan pikiran dan perasaan negatif tersebut. Bagaimana caranya?.
Baca juga Berdamai dalam Krisis
Untuk membuat pikiran tetap baik dan positif, kita harus memulainya dengan ‘melepaskan’ segala tekanan dalam diri. Jika pikiran kita bersih, kita akan siap untuk segala hal dan terbuka untuk menerima apa pun karena yakin bahwa pikiran kita memiliki daya saring yang kuat.
Dalam hal ini kita bisa belajar dari ketangguhan korban terorisme atas penderitaan dan kesengsaraan hidup yang mereka alami. AIDA mempunyai pengalaman baik ketika bertemu dengan para korban. Dimulai dari ‘melepaskan’ apa yang telah terjadi, para korban itu tidak hanya bangkit dari penderitaan yang ada, melainkan juga mampu memaafkan pelakunya. Secara logika, kedua belah pihak (korban dan pelaku) rasanya tidak mungkin bisa bersatu, apalagi kesediaan mereka untuk meminta dan memberikan maaf.
Baca juga Mengarifi Dendam
Faktanya berdasarkan pengalaman AIDA, korban tidak hanya mampu berdamai dan pelaku menyesali perbuatannya. Lebih dari itu, kedua belah pihak bahkan mampu bekerja sama untuk mengkampanyekan perdamaian bagi masyarakat luas. Salah seorang korban serangan bom di salah satu Gereja di Surabaya mengungkapkan bahwa mungkin pelaku tidak tahu apa yang mereka perbuat, karena itu dirinya mengikhlaskan musibah itu dan menghilangkan dendam terhadap pelakunya. Pikiran positif seperti itu begitu ampuh untuk menciptakan perdamaian itu sendiri.
Maka dari itu, tugas kita semua adalah menghentikan penderitaan-penderitaan yang terkadang kita ciptakan sendiri dalam pikiran. Perdamaian akan terwujud atas kepekaan kita sendiri, yaitu dengan menebar kasih sayang dan memaafkan kesalahan orang lain. Tanpa perdamaian dalam pikiran dan hati kita, maka tidak akan ada kedamaian di lingkungan, negara, dan dunia kita.
Baca juga Memaafkan Menyembuhkan