Home Opini Timur Tengah 2025
Opini - 4 weeks ago

Timur Tengah 2025

Oleh: Hasibullah Satrawi,
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Apa yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023 bisa disebut sebagai serangan mengejutkan, tak hanya bagi Israel, tetapi juga bagi sekutu Hamas. Namun, aksi balasan brutal yang dilakukan Israel lebih mengejutkan lagi, termasuk bagi Yahya Sinwar yang diduga sebagai perancang serangan 7 Oktober.

Demikian kurang lebih pandangan salah satu pejabat senior Palestina, Yasser Abed Rabbo, yang dimuat koran terbesar Timur Tengah, As-Sharq al-Awsat, pada 5 Maret 2024, beberapa bulan setelah serangan 7 Oktober 2023 yang diberi nama Badai Al-Aqsa (Tufan al-Aqsa).

Kini, Badai Al-Aqsa telah berubah menjadi Badai Timur Tengah. Tak hanya Gaza yang menjadi luluh lantak akibat serangan Israel yang mendapatkan kecaman dari banyak pihak, tetapi juga banyak tempat lain di Palestina, seperti Tepi Barat. Bahkan Badai Timur Tengah menerjang sampai ke Lebanon, Yaman, Iran, dan yang terakhir adalah Suriah.

Tokoh-tokoh perjuangan Palestina pun berguguran, mulai dari Yahya Sinwar hingga Hassan Nasrallah sebagai Sekjen Hizbullah di Lebanon. Bagaimana nasib Badai Al-Aqsa dan Badai Timur Tengah pada 2025 ini?

Badai Al-Aqsa

Dalam hemat penulis, ada kemungkinan Badai Al-Aqsa akan segera berakhir. Secara faktual, hari ini hanya tersisa Front Gaza yang masih menjadi medan perang antara Israel dan Hamas. Pelbagai macam upaya terus dilakukan untuk mendorong tercapainya kesepakatan antara Hamas dan Israel. Terlebih lagi presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan batas waktu bagi kesepakatan ini, yaitu sebelum Trump dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari mendatang.

Sementara Front Lebanon bisa dikatakan sudah berakhir dengan dicapainya gencatan senjata antara Hizbullah dan Israel pada 27 November 2024. Memang terjadi beberapa kali pelanggaran dan tembakan pada masa awal gencatan senjata yang akan berlangsung selama 60 hari terhitung sejak 27 November 2024. Namun, pelanggaran yang ada tidak berkembang menjadi eskalasi lebih lanjut, terlebih sampai mengakhiri gencatan senjata yang ada.

Sementara Front Iran terus kondusif sampai hari ini. Walaupun ada beberapa pernyataan keras dari Iran pascaserangan balasan Israel terakhir (26 Oktober 2024), sampai sekarang Iran tidak melakukan serangan balasan secara langsung terhadap Israel.

Satu-satunya front yang masih terbuka bahkan cenderung meningkat adalah Front Yaman. Sebagaimana dimaklumi, kelompok perlawanan Houthi di Yaman semakin intensif menyerang Israel dalam beberapa waktu terakhir. Israel berjanji akan melakukan serangan balasan yang sangat keras kepada Yaman.

Mengingat jarak yang sangat jauh antara Yaman dan Israel (kurang lebih 2.000 kilometer), skenario Front Israel-Yaman kemungkinan besar bisa mengalami seperti Front Israel-Iran. Walaupun terjadi serangan balas-membalas secara udara, serangan yang ada masih bersifat terbatas. Sekurang-kurangnya tidak sampai menjadi perang membabi buta seperti dalam konteks Gaza dan Lebanon.

Badai Timur Tengah

Meski demikian, tak tertutup kemungkinan Front Yaman terus berkobar ke depan, membuat Badai Timur Tengah semakin menjadi-jadi. Ada beberapa hal yang bisa membuat Front Yaman dan Badai Timur Tengah terus berkobar ke depan ataupun sebaliknya.

Pertama, faktor Donald Trump sebagai Presiden AS. Suka atau tidak, apa yang terjadi di Timur Tengah hari ini belum bisa dilepaskan dari kebijakan politik luar negeri AS. Dengan kata lain, apa yang diinginkan oleh AS di Timur Tengah, itulah kemungkinan besar yang akan terjadi, khususnya apabila keinginan tersebut terkait dengan kepentingan AS dan kepentingan ataupun kebijakan Israel.

Apabila ada dari kehendak AS di Timur Tengah yang tidak terjadi, hal itu dipastikan karena bertentangan dengan kebijakan Israel seperti dalam upaya gencatan senjata di Gaza yang senantiasa ditekankan oleh Presiden Joe Biden.

Pada masa pemerintahan Joe Biden, Benjamin Netanyahu kerap menghindar, bahkan berseberangan, dengan kebijakan Presiden Biden yang dalam konteks politik Pemilu AS pada 2024 justru menguntungkan posisi politik Trump. Hingga akhirnya Trump benar-benar menjadi presiden terpilih AS mengalahkan Kamala Harris sebagai capres yang didukung Presiden Biden.  

Dalam konteks Gaza, Trump sudah memberikan batas waktu gencatan senjata, sebagaimana telah disampaikan di atas. Sejauh ini, target di atas terus diupayakan. Dalam perkembangan terbaru, Netanyahu memutuskan untuk mengirim kembali delegasi ke Qatar untuk melanjutkan perundingan gencatan senjata dan pertukaran sandera (Aljazeera.net, 5/1/2025).

Kedua, penegasan musuh utama dunia Arab atau negara-negara Timur Tengah secara umum. Penegasan musuh utama dunia Arab dan Timur Tengah secara umum akan sangat menentukan bagi perkembangan yang akan terjadi ke depan. Apakah musuh utamanya adalah Israel atau justru Iran?

Beberapa tahun silam, Iran dan Israel bisa dikatakan sebagai musuh utama dunia Arab. Pada titik tertentu, dunia Arab acap bersitegang dengan Israel. Pada waktu yang lain, dunia Arab bersitegang dengan Iran, hingga akhirnya tercapai rekonsiliasi antara Arab Saudi dan Iran pada 10 Maret 2023.

Sejak saat itu, hanya Israel yang dianggap sebagai musuh oleh dunia Arab, khususnya bagi masyarakat umum. Sementara Iran sudah menjadi kawan, bahkan pahlawan. Masa-masa awal terjadinya perang Gaza bisa dikatakan sebagai masa puncak Iran sebagai pahlawan bagi masyarakat Timur Tengah, khususnya dengan keberhasilan Iran menyerang Israel secara langsung.

Namun, ambruknya pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah pada 8 Desember 2024 bisa menjadi titik reposisi bagi musuh utama dunia Arab atau Timur Tengah secara umum. Apakah masih tetap Israel yang dijadikan sebagai musuh bersama? Atau justru kini berbalik menjadi Iran? Atau justru kini kembali ke fase sebelum terjadinya rekonsiliasi antara Iran dan Arab Saudi yang menjadikan Iran dan Israel sebagai sama-sama musuh.

Dikatakan demikian karena pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah telah menjadi ”ekosistem” kelompok perlawanan yang dikomandani Iran. Ekosistem ini dihancurkan dengan mudah oleh pasukan Hay`at Tahrir Syam (HTS) yang juga didukung Israel dan koalisi Barat (sebagaimana diakui oleh Netanyahu). Oleh karena itu, sangat dipahami apabila Israel sangat leluasa bermanuver di Suriah setelah lengsernya Assad.

Perkembangan politik di Suriah ke depan bisa dijadikan sebagai cermin untuk melihat siapa yang ditetapkan sebagai musuh utama oleh dunia Arab atau Timur Tengah secara umum: apakah Israel atau Iran?

Apabila yang dijadikan musuh adalah Israel, sangat mungkin Iran akan tetap dilibatkan dalam pembangunan Suriah ke depan. Namun, apabila yang dijadikan musuh adalah Iran, kebijakan anti-Iran bisa semakin menguat ke depan. Tak hanya dalam konteks Suriah, tetapi juga dalam konteks dunia Arab secara umum, khususnya Front Yaman.

Hal yang harus diperhatikan bersama adalah perang Yaman antara kelompok Houthi dan koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi (2015) terjadi pada saat Iran dan Israel masih dijadikan sebagai musuh oleh bangsa Arab. Perang ini mendapatkan dukungan sangat kuat dari AS yang saat itu dipimpin Donald Trump.

Namun, terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS pada 2020 (mengalahkan Trump) membuat perang ini tak lagi didukung AS. Bahkan kelompok Houthi yang pernah dimasukkan sebagai organisasi teroris pada pemerintahan Trump, per 16 Februari 2021, tak lagi dianggap sebagai kelompok teroris oleh pemerintahan Biden (Antara, 13 Februari 2021).

Ketiga, faktor Turki. Kebijakan Turki terkait Suriah secara umum dan kelompok oposisi Kurdi akan sangat menentukan bagai Badai Timur Tengah ke depan. Secara tidak langsung, penggulingan Bashar al-Assad di Suriah menghadirkan dua sisi bagi Turki: peluang dan tantangan sekaligus.

Lengsernya Assad bisa menjadi peluang bagi Turki untuk turut membangun ulang Suriah agar menjadi tetangga yang tidak ”merepotkan” bagi Turki. Namun, di sisi lain, lengsernya Assad membuat Turki secara tidak langsung terlibat dalam konflik yang lebih terbuka melawan kelompok oposisi Suriah dari kalangan Kurdi.

Persoalan ini tidak akan mudah bagi Turki mengingat kelompok oposisi dari kalangan Kurdi mendapatkan dukungan dari AS, khususnya dalam menghadapi kelompok militan Islam yang bernama ISIS.

Apabila tidak hati-hati, Turki bisa terlibat dalam perang lebih total yang bisa berdampak terhadap politik internalnya. Terlebih lagi Erdogan sebagai Presiden Turki selama ini bermusuhan dengan kelompok militer yang dikenal fanatik dengan sekularisme Turki modern yang telah ”dijinakkan” oleh Erdogan. Bukan tidak mungkin Turki dijadikan sebagai Suriah kedua; ”transaksi murah meriah” dengan keuntungan besar secara strategis, khususnya bagi Israel dan sekutu-sekutunya.

*Artikel ini telah tayang di laman Kompas.id edisi Selasa, 14 Januari 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *