Tetap Damai di Era Disrupsi
Situasi global sedang tidak baik-baik saja. Perang terus berkecamuk di Ukraina dan Timur Tengah. Perang tersebut berdampak terhadap pasokan energi dunia dan mengganggu mata rantai pangan global. Hal itu berdampak pada melonjaknya harga-harga barang, sembako, dan kebutuhan pangan kita di Indonesia.
Serangan Israel ke Gaza Palestina yang tidak berkesudahan juga menunjukkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan badan-badan internasional lain tidak memiliki posisi tawar di hadapan Israel. Nurani kita sebagai bangsa teriris melihat penderitaan warga Gaza, tapi tak punya daya. Kita seolah masuk dalam situasi global disorder: tata dunia yang tidak tunduk lagi pada kesepakatan-kesepakatan internasional.
Saat bersamaan masyarakat kita juga mengalami disrupsi, yakni perubahan yang sangat besar, mendasar, dan cepat yang mengubah tatanan lama akibat perkembangan inovasi dan teknologi baru. Bagi sebagian orang, perubahan tersebut menjadi peluang namun tidak bagi sebagian yang lain. Perubahan cepat tersebut mengganggu bahkan menghancurkan hal-hal yang sejak lama dibangunnya.
Bagaimana kita menyikapi semua hal tersebut?
Dalam era disrupsi, perdamaian menjadi sangat penting. Ketidakpastian global, perubahan yang sangat besar dan cepat rawan menimbulkan ketegangan dan konflik sosial. Sebagai misal, dulu kita kerap menjumpai berita perkelahian antara tukang ojek pangkalan dengan ojek daring. Belakangan, pedagang luring mulai mengeluhkan dan memprotes banjirnya marketplace dan perdagangan melalui akun media sosial.
Pada saat yang sama, kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) tidak menjamin manusia berperilaku damai dan mendukung perdamaian. Sekjen PBB, Antonio Guterres, dalam Sidang Majelis Umum PBB tahun 2023 mengingatkan bahwa ujaran kebencian dan disinformasi di platform media sosial disebabkan dan diperkuat oleh AI, sehingga rentan memicu kekerasan dan konflik dalam kehidupan nyata.
Baca juga Merayakan Syawal sebagai Bulan Perdamaian
Oleh karena itu dalam situasi global dan disrupsi yang tidak menentu, kita harus merawat dan menjaga perdamaian dalam kehidupan sosial dan keseharian. Caranya?
Pertama, selalu bersikap positif terhadap berbagai perubahan teknologi dan inovasi. Sikap ini ditandai dengan keinginan untuk belajar dan menguasai teknologi tersebut serta memanfaatkannya untuk kemaslahatan bersama. Teknologi dimanfaatkan untuk kehidupan, kebaikan, dan perdamaian.
Kedua, beradaptasi dengan berbagai situasi dan perubahan. Menyesuaikan diri dengan pendekatan dan gaya hidup baru yang sesuai dengan kemajuan zaman dan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai fundamental lama yang bersumber dari agama, budaya, dan adat istiadat.
Ketiga, tetap menjaga nilai-nilai perdamaian seperti menghargai sesama, toleran, memaafkan orang yang menyakiti kita, memperbaiki kesalahan, menghargai perbedaan dan mampu menyelesaikan konflik dengan dialog tanpa kekerasan.
Baca juga Puasa; Kedamaian Diri untuk Perdamaian Bumi
Kisah dan pengalaman hidup para korban aksi terorisme dan mantan pelaku kekerasan ekstrem telah memberikan pelajaran (ibroh) pada kita bahwa kesalahan merespons konflik di Timur Tengah dan wilayah lain, serta penggunaan teknologi untuk ujaran kebencian dan radikalisasi telah menjerumuskan banyak orang dalam kehidupan yang penuh derita dan sengsara, termasuk warga negara Indonesia (baik sebagai korban maupun pelaku kekerasan).
Pemerintah dan masyarakat kita sedang berusaha keras merawat dan menjaga perdamaian. Kini makin banyak juga orang yang dulunya berada dalam kelompok kekerasan, sekarang berbalik mendukung perdamaian. Pemerintah dan masyarakat harus selalu bekerjasama dan bahu membahu menjaga negeri ini dari ancaman krisis global, konflik, dan kekerasan.