Pendidikan Kita Memang Telah Usang
Oleh Toto Rahardjo
Pendiri Sanggar Anak Alam (Salam) Yogyakarta
Artikel ini terbit di Harian Kompas, edisi 2 Mei 2025
Ketika informasi dan sumber-sumber pengetahuan semakin mudah diakses, serta institusi pendidikan—mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi—tumbuh menjamur, sistem pendidikan yang ada saat ini justru kontradiktif. Institusi yang seharusnya berfungsi memberi dampak terhadap pembangunan manusia seutuhnya untuk orientasi ke masa depan justru malah terjebak dan tertidur di zona nyaman masa lalu.
Semestinya para pengelola institusi pendidikan yang bernama ”sekolah” saat ini menyelenggarakan refleksi besar-besaran agar dirinya bukan justru menjadi aktor penghambat pertumbuhan manusia.
Memang, pada masa lalu, sekolah telah mengantarkan kita ke gerbang modernisasi. Namun, celakanya, sekolah pada saat ini tidak disadari juga menggerus kreativitas, ekspresi, motivasi, bahkan menjadi pembunuh kecenderungan dan bakat para siswanya.
Cara belajar kita sekarang akan berdampak pada kebutuhan hidup kita pada masa lima hingga sepuluh tahun mendatang. Sementara itu, kebutuhan hidup setiap orang tidak lagi sama, bahkan bisa jadi sangat berbeda dengan apa yang dipelajari saat ini.
Keterbatasan pendidikan kita
Ketika kita melewati zaman industri, dunia mulai berubah dan serta-merta memengaruhi mentalitas kita. Pelan-pelan kita dibangunkan dan segera terbangun kesadaran bersama atas keterbatasan model pendidikan reduksionis. Kita mulai bisa merasakan ada yang keliru dalam arus utama (mainstream) pendidikan kita.
Sebenarnya, sistem pendidikan kita pada saat ini dirancang oleh pengaruh era industri di mana pabrik-pabrik membutuhkan buruh untuk menjalankan mesin. Saat itu sekolah terkait erat dengan penyeragaman untuk menjawab kebutuhan produksi massal.
Baca juga Sasaran Kemarahan Itu Bernama Sekolah
Nilai-nilai di era industri tampak jelas, misalnya ketika kita mengklasifikasi berdasarkan kelas-kelas dan angkatan, mengatur mereka dengan isyarat bunyi lonceng. Sistem tersebut sangat bertolak belakang dengan kebutuhan nyata saat ini. Bahkan, hingga saat ini, lebih memilih penyeragaman dibandingkan melihat serta menghargai keberagaman dan tidak mendorong pembelajaran mandiri.
Mengedepankan hafalan dibandingkan kreativitas, kebebasan berpikir, dan daya kritis. Mendukung kompetisi dan individualisme dibandingkan dengan kolaborasi dan kerja-kerja kolektif. Mengutamakan kesuksesan, bukan menghadapi masalah, serta tangguh dalam menghadapi persoalan dan kegagalan. Lebih banyak menyoroti kemampuan analitik dan kognitif, tapi abai terhadap sensitivitas, empati, dan kecerdasan emosional.
Dunia pasca-industri membutuhkan serangkaian kompetensi baru dari jagat pendidikan yang lebih komprehensif. Maka, mau tak mau, harus masuk dalam gerbang baru yang mampu mengeksplorasi pandangan holistik serta prasyarat desentralisasi pendidikan.
Hal tersebut merupakan proses penyempurnaan dari hal yang hanya sekadar mengandalkan keterampilan kognitif mekanis dan rutin menuju ke tata kelola berpikir yang lebih kompleks dan metodologi bekerja yang kompleks, yang tentu saja memerlukan kaliber sistem pendidikan yang berbeda.
Memahami bahwa laju perubahan dunia tidak selalu deterministik dan menyadari perbedaan sudut pandang merupakan modal yang berharga. Juga pentingnya kapasitas adaptif, kreativitas, serta kemampuan penalaran kualitatif dalam rangka mengintegrasikan teori dan penerapannya. Semua itu mencakup serangkaian kompetensi manusia yang dibutuhkan di era otomasi.
Baca juga Urgensi Pendidikan Perdamaian
Ekosistem pendidikan yang lebih luas dibutuhkan untuk memberi kesempatan pengembangan diri seseorang secara holistik. Walaupun saat ini kita menyadari persoalan pendidikan dan berusaha untuk memperbaiki, tanpa disadari kita masih memandang dengan cara yang telah lama.
Sistem, paradigma, dan struktur berpikir yang telah usang justru dilanggengkan dan dipraktikkan setiap hari.
Sistem pendidikan berkembang sedemikian rupa dan mengarah, menguat, dan semakin terpusat. Apa yang dimaksud pendidikan yang berkembang adalah apa yang terjadi di dalam kotak ruang akademik (sekolah, universitas, perpustakaan, dan sejenisnya).
Proses belajar dipusatkan di ruang tertutup akademik. Proses pendekatan semacam itu memang cocok diterapkan di era kelangkaan informasi. Namun, kenyataannya, saat ini kita memiliki sumber daya yang mudah dan bebas diakses dan dipelajari banyak orang.
Menciptakan sistem pendidikan terbuka
Dengan sistem pendidikan yang tertutup, kita tentu akan sulit memaksimalkan potensi secara efektif, karena kita tidak menganggap itu semua sebagai sumber daya ilmu, karena berada di luar kotak ruang pendidikan.
Karena itu, yang kita butuhkan justru menciptakan sistem pendidikan yang terbuka sehingga setiap orang dapat mengakses potensi informasi yang sangat melimpah secara lebih terstruktur, kontekstual, dan lebih disesuaikan secara personal.
Pendekatan sistem terbuka akan menghasilkan ekosistem pendidikan yang bersifat inklusif. Terbuka untuk semua orang dan akan menampung seluruh dimensi pembelajaran. Tentu saja, pergeseran ini, selain berdampak pada sistem dan struktur pendidikan, juga akan terkait dengan perubahan pokok bahasan dan proses belajar serta pengalaman belajarnya.
Pendekatan sistem terbuka berarti harus beranjak dari kecenderungan unidimensional menuju multidimensional. Dunia telah berubah. Kini yang dibutuhkan bukan kecerdasan sempit satu dimensi, melainkan serangkaian kompetensi holistik. Untuk menjawab itu, dibutuhkan proses pendidikan yang tidak kaku dan lebih adaptif.
Birokrasi pendidikan membutuhkan mekanisme standardisasi agar bisa menjalankan proses pendidikan dalam skala besar. Agar sistem berjalan efektif, dibutuhkan sistem komunikasi dari satu ke banyak (satu guru banyak murid).
Dalam sistem semacam ini, siswa harus cocok dan sesuai dengan standar yang diterapkan, termasuk kesesuaian dengan metode pengajaran, proses, dan sistem dalam institusinya. Memang model seperti ini tidak dirancang untuk pembelajaran individu, tetapi lebih fokus pada sistem dan pengajarannya.
Hal ini menciptakan pendekatan top-down, di mana siswa hanya sekadar perlu patuh kepada sistem. Meredam individualitas dan keragaman siswa, dan menjadikan siswa dihadapkan hanya pada satu cara yang benar, hanya satu jawaban yang benar, satu model siswa ideal. Asumsinya adalah bahwa semua sama, atau bahkan semua harus sama.
Anak-anak memiliki hasrat yang besar untuk belajar, tetapi pelan-pelan tampak menghilang ketika kita menyekolahkan mereka, ketika kita memasukkan mereka ke gedung yang dirancang untuk tujuan itu. Membagi mereka berdasarkan peringkat, lalu mulai menjejalkan informasi yang belum tentu sesuai dengan minatnya.
Premis utama dari pendekatan tersebut adalah bahwa kita merasa yang paling tahu atas apa yang harus dipelajari siswa. Itulah sebabnya, kita membuat sistem pendidikan seperti yang kita lakukan hingga saat ini, yakni berusaha mencetak siswa ideal.
Jika kita berani mengedepankan pengalaman belajar individu dan pokok bahasan sesuai minat yang membuat mereka bergerak maju, maka kita akan mulai melihat bahwa menumbuhkan generasi baru jauh lebih efektif daripada mati-matian berusaha mencetaknya.
Baca juga Memperhatikan Ruang Aktual Pendidikan
Pada dasarnya, ini merupakan pergeseran dari model top-down menuju bottom-up yang lebih fokus pada proses belajar individu.
Dalam model berbasis pembelajar, proses belajar didorong oleh aspirasi personal, tujuan dan hal-hal yang mereka minati, dibandingkan dengan hanya sekadar mengerdilkan berbagai keberagaman melalui berbagai kontrol yang mematikan semangat belajar.
Fokus utama adalah upaya menyalakan dan menstimulasi kembali keingintahuan subyektif individu dan memfasilitasi proses belajar siswa.