Ruang Aman bagi Anak-anak
Oleh Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN
Artikel ini terbit di laman Kompas.id, edisi 23 Jul 2025
Ada dua ruang aman yang ternyata sering kali justru menampilkan sisi terburuknya, yaitu keluarga dan sekolah. Alih-alih menjadi tempat berlindung anak-anak, dua arena tersebut justru menjadi tempat di mana perilaku destruktif ditampilkan. Relasi kuasa diwujudkan dalam kekerasan yang membuat anak-anak menderita luka fisik dan batin yang sangat parah.
Keluarga dan sekolah adalah ruang pendidikan. Di dalam dua arena tersebut anak-anak belajar menjadi manusia. Anak-anak meniru ragam perilaku orang dewasa di sekitar mereka dan apa yang mereka saksikan di keseharian tersebut yang membentuk diri mereka di masa kini dan masa depan. Di ruang keluarga mereka mendapatkan kehangatan dari orangtua dan saudara, di ruang persekolahan mereka belajar berbagai kapabilitas yang dibutuhkan untuk beradaptasi di masyarakat. Itu kira-kira yang diharapkan secara ideal dan normatif.
Namun, hingga kini, baik di ruang keluarga maupun persekolahan, anak-anak justru mendapat situasi paradoks. Ada kekerasan fisik dan simbolik yang ditampilkan dengan begitu terbuka di kedua ruang tersebut. Bahkan, untuk beberapa kasus anak-anak masih harus menghadapi hukuman fisik ketika mereka dianggap tidak mematuhi apa yang menjadi harapan orangtua atau guru. Masih sering kita mendapat cerita hukuman fisik digunakan untuk mendisiplinkan anak-anak.
Baca juga Pendidikan Kita Memang Telah Usang
Model hukuman fisik, misalnya, dipukul bagian tubuh menggunakan rotan atau kayu, menarik telinga, mencubit, memukul dengan tangan, menendang, menyikut, menjambak, menjemur, meminta siswa push up, atau berlari. Hal-hal tersebut sering kali tidak berkaitan dengan tujuan pendidikan, untuk memanusiakan anak-anak dan membangun ruang yang penuh dialog dan kasih. Atas nama pendisiplinan biasanya kekerasan fisik digunakan oleh orang dewasa kepada anak-anak. Dalam beberapa kasus, misalnya, memukul anak dengan emosional dan menyebabkan luka di bagian tubuh. Padahal, hukuman fisik tidak berkaitan dengan kedisiplinan anak-anak.
Kedisiplinan dapat dibangun melalui berbagai cara, mulai dari mendidik anak tepat waktu, fokus pada yang dikerjakan, hingga menyelesaikan tugas yang diberikan oleh pihak sekolah. Pada tahap awal yang paling penting adalah membuat anak-anak memiliki kesadaran terkait diri dan apa yang menjadi tugas mereka sebagai pelajar. Jadi, meski tidak ada hukuman fisik, mereka tetap mampu menjaga kedisiplinan. Secara aturan sudah disampaikan bahwa satuan pendidikan diharuskan ”menerapkan pembelajaran tanpa kekerasan di lingkungan satuan pendidikan” (Permendikbud Nomor 23 Tahun 2024). Apalagi dalam konteks kebijakan saat ini pemerintah gencar mendeklarasikan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat, yaitu: bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat.
Diliputi ancaman
Jika ditelaah hukuman fisik hanya akan mengancam para peserta didik, sementara target membuat perubahan karakter justru tidak tercapai. Padahal, dalam kehidupan keseharian anak-anak ini terancam oleh ketidakamanan, kondisi ekonomi yang buruk, krisis iklim, bahaya judi online, pornografi, dan lainnya. Lalu, mengapa di ruang teraman (keluarga dan sekolah) mereka justru mendapatkan ancaman juga?
Baca juga Kurikulum yang Dimakan Usia
Oleh karena itu, membangun anak-anak tak mungkin lagi dengan menggunakan kekerasan dan ancaman. Pertama, anak akan merasa terintimidasi dan terancam. Mereka akan merasa ada sosok pengawas yang bersiap menghukum ketika mereka melakukan kesalahan. Dalam beberapa aspek, setiap tindakan mereka didasarkan pada kekhawatiran dan ancaman, artinya mereka tidak leluasa melakukan aktivitas karena takut dihukum. Lalu, ketika tidak diawasi mereka merasa bebas. Artinya, taat terhadap aturan bukan karena kesadaran, melainkan karena rasa takut terhadap pihak penghukum.
Kedua, tekanan berbentuk hukuman fisik tidak akan membuat anak konsentrasi belajar karena mereka akan selalu merasa terancam dan fokus pada upaya menghindari diri dari kesalahan. Tidak akan muncul daya kritis dari pendidikan yang menghalalkan hukuman fisik bagi anak-anak. Dialog jelas tak mendapat porsi di pola pendidikan yang mengandalkan hukuman fisik.
Hukuman fisik, terutama yang mengarah pada kekerasan dan penyiksaan, tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang berupaya menjadikan anak mandiri, cerdas, dan kritis. Pada Laporan Unicef bertajuk ”Perundungan di Indonesia: Fakta-fakta Kunci, Solusi, dan Rekomendasi” disampaikan bahwa anak-anak belajar lebih efektif dan menunjukkan tingkat kehadiran yang lebih tinggi ketika guru menggunakan disiplin positif alih-alih hukuman berbasis kekerasan.
Jika menggunakan pendekatan Ki Hadjar Dewantara, dalam pendidikan dimungkinkan adanya hukuman, tetapi dengan tujuan menghidupkan rasa keadilan dalam sanubari anak, dengan syarat: pertama, hukuman harus selaras dengan kesalahannya. Jika anak datang terlambat, hukumannya adalah waktu pulang sang anak yang diundurkan; jika membuat kotor ruangan, hukumannya adalah membersihkan ruangan. Hukuman tidak boleh bersifat siksaan dan kekejaman dari guru kepada siswa.
Baca juga Sasaran Kemarahan Itu Bernama Sekolah
Kedua, hukuman harus dilakukan dengan adil. Jangan membedakan, memihak, atau mendiskriminasi anak. Setiap yang memiliki kesalahan harus diperhatikan, tidak boleh dibiarkan. Dalam konteks ini tidak ada anak yang menjadi favorit guru. Ketika salah, anak-anak ini dibiarkan dan tak mendapat sanksi. Semua anak memiliki posisi yang sama di ruang kelas. Aturan-aturan yang sudah disepakati harus dihormati oleh semua pihak.
Ketiga, hukuman harus segera dijatuhkan. Artinya, setiap ada yang bersalah, maka harus menerima konsekuensi. Hukumannya harus diberikan secara langsung agar anak merasakan keadilan dan ada memiliki rasa sesal karena sudah berbuat salah. Jika ditunda, anak akan merasa setiap kesalahan tidak ada sanksi. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, inti pendidikan adalah menuntun anak ke arah hidup merdeka, dengan memiliki budi pekerti dan menghormati orang lain. Artinya, penghormatan terhadap kemanusiaan menjadi sangat utama.
Membangun potensi
Dalam beberapa kebijakan pendidikan kita mengenal ragam profil yang diharapkan dapat dimiliki anak-anak Indonesia. Kita mengenal istilah Profil Pelajar Pancasila, Profil Lulusan, Generasi Unggul, Generasi Emas, Anak Cerdas Berkarakter, Pelajar Berdaya Saing Global, dan lainnya. Pertanyaan yang patut diajukan adalah bagaimana penyematan ”profil” tersebut dapat ”diproduksi” di ruang pendidikan? Apakah anak-anak tersebut dapat dilahirkan dalam ruang pendidikan yang penuh dengan kekerasan dan ancaman?
Oleh sebab itu, dalam konteks saat ini di ruang pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat, dunia digital) anak-anak harus dibangun kesadaran, pengalaman, dan pandangannya untuk menghadapi realitas yang kompleks. Pertautan anak-anak dengan dunia sosial menjadi sangat penting dan tentu saja di ruang persekolahan harus ada guru-guru yang telaten yang mampu membersamai anak-anak.
Baca juga Memperhatikan Ruang Aktual Pendidikan
Membangun fisik dan mental anak-anak Indonesia tentu harus menggunakan pendekatan yang memungkinkan mereka mengeksplorasi segenap potensi diri yang dimiliki. Menjadikan anak-anak Indonesia dapat belajar di berbagai ruang menjadi sangat penting. Apalagi di tengah ketidakpastian kemampuan untuk menganalisis serta menyelesaikan persoalan menjadi kapasitas yang perlu ada dalam personal anak-anak. Kita tentu tak ingin memiliki anak-anak yang memiliki luka fisik dan batin serta kesulitan untuk meraih mimpi dan cita-cita mereka.