Guru dan Pendidikan Karakter
Oleh: Faruq Arjuna Hendroy
Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Orang-orang mengekspresikan rasa terima kasihnya kepada guru melalui banyak cara. Tentu yang paling mudah adalah melalui media sosial. Puja-puji dan ucapan terima kasih disampaikan kepada para gurunya. Apresiasi tersebut diberikan berkat besarnya jasa guru dalam membangun peradaban manusia.
Peran guru tak bisa dilepaskan dari pentingnya eksistensi ilmu. Sebagai sebuah objek, ilmu tidak bisa berpindah dari satu orang ke orang lainnya. Diperlukan peran mediator yang menjembatani ilmu sehingga bisa sampai kepada orang lain. Mediator itulah yang kita kenal dengan sebutan guru. Jika tak ada guru, ilmu mustahil akan tersampaikan. Generasi tanpa ilmu akan semakin dekat dengan jurang kehancuran.
Baca juga Guru sebagai Penggerak Perdamaian
Sekilas berkaca pada sejarah dunia. Sesaat setelah peristiwa serangan bom atom membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, Kaisar Hirohito langsung mengumpulkan para jenderal yang masih tersisa. Hal yang dibahas Sang Kaisar dengan jenderalnya bukan soal strategi membalas serangan, tetapi berapa banyak guru yang tersisa (masih hidup). Kaisar Hirohito berpikir bagaimana mungkin Jepang akan menyusul teknologi Barat apabila para guru di negeri Sakura itu mati semua. Sang Kaisar dengan lantang mengikrarkan bahwa masa depan Jepang pascaperang bertumpu pada para guru. Kini lihatlah betapa majunya negeri itu.
Pada prinsipnya, guru tidak hanya berperan dalam mengembangkan kecerdasan intelektual sang murid. Sebab manusia memiliki tiga kecerdasan utama. Selain kecerdasan intelektual, ada kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketiganya harus berjalan secara seimbang untuk melahirkan manusia yang paripurna.
Baca juga Mensyukuri Nikmat di Tengah Pandemi
Kecerdasan intelektual bertumpu pada pengerahan daya nalar. Ia berkaitan dengan kemampuan berpikir, analisa, logika, dan rasio. Kecerdasan intelektual berfungsi untuk mempelajari atau menemukan hal-hal baru, menyaring dan menganalisa sebuah informasi, memecahkan permasalahan, dan menerapkan pengetahuan yang telah didapat. Tentu semuanya ditujukan bagi kebaikan manusia.
Selanjutnya ada kecerdasan emosional. Tipe kecerdasan ini berkaitan dengan cara seseorang dalam mengelola emosinya dan mengenali emosi orang lain. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik akan mudah berinteraksi dengan orang lain. Ia juga akan lebih peka dengan keadaan sekitar sehingga mampu melihat permasalahan secara utuh dan menemukan solusinya.
Baca juga Sumpah Pemuda: Menyongsong Indonesia Emas
Lalu ada juga yang namanya kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini selalu berkaitan dengan ketenangan jiwa. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual memandang semua yang terjadi di dunia ini penuh dengan hikmah, sehingga tidak akan menyalahkan diri sendiri dan terjauh dari depresi. Dalam konstruksi agama, kecerdasan spiritual erat dikaitkan dengan spirit ilahiah, bahwa suka dan duka dalam hidup sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Kecerdasan spiritual memberikan manusia kekuatan untuk selalu bersyukur dan menikmati hidup.
Menyeimbangkan ketiga kecerdasan telah lama menjadi permasalahan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Selama ini, guru masih berkutat pada bagaimana meningkatkan kecerdasan intelektual siswa melalui serangkaian kurikulum, tugas yang bertumpuk-tumpuk, dan berbagai media belajar. Namun belum menyentuh aspek pembentukan karakter atau kepribadian siswa.
Baca juga Korona dan Keselamatan Bangsa
Baru pada tahun 2010, komitmen nasional untuk pendidikan karakter dikristalisasikan pada seluruh tingkat pendidikan di Indonesia. Pemerintah mulai menyisipkan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan, yang berfokus pada penguatan nilai-nilai toleransi, cinta damai, tanggung jawab, kepedulian sosial, kejujuran, kemandirian, kedisiplinan hingga kerja keras. Langkah yang bisa dibilang cukup terlambat mengingat sistem pendidikan di tanah air sudah berjalan sejak kemerdekaan.
Tak heran jika selama ini kita masih menemukan berbagai masalah pada karakter siswa. Aksi perundungan, tawuran, hingga kekerasan berbasis ideologis kerap kita temukan menghinggapi keseharian para pemuda. Campur tangan dari guru yang mungkin baru melek soal pendidikan karakter terasa kurang cukup dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Baca juga Hijrah untuk Kemerdekaan
Musababnya, kualitas guru yang tidak merata. Di satu sisi, ada guru yang sudah paham dan siap mengajarkan pendidikan karakter kepada siswa. Sedangkan di sisi lain masih banyak guru yang belum paham konsep pendidikan karakter, atau bahkan memiliki permasalahan karakter dalam dirinya, sehingga menularkan ketidakbaikan demi ketidakbaikan pada siswanya. Contoh sederhananya dapat dilihat dari sejumlah kasus di mana oknum guru mengajarkan siswanya untuk ‘memusuhi’ orang lain karena perbedaan identitas.
Penyebab lain gagalnya pendidikan karakter adalah luasnya ruang lingkup kehidupan siswa. Di sekolah, para siswa memang diajar oleh guru. Tetapi ketika selesai jam sekolah, mereka memasuki kehidupan yang lain. Selanjutnya mereka akan belajar dari orang tua dan lingkungan di sekitar rumah yang jauh dari jangkauan guru. Sekeras apa pun guru di sekolah menanamkan pendidikan karakter, semuanya akan bubar jika pendidikan karakter tersebut tidak dilanjutkan di rumah. Kurangnya sinergitas antara kehidupan di sekolah dan di rumah sangat mungkin menggagalkan pendidikan karakter.
Baca juga Kehancuran di Balik Egoisme
Oleh sebab itu, pendidikan karakter tidak bisa hanya dibebankan kepada guru. Pendidikan karakter harus menjadi tanggung jawab semua stakeholder yang secara langsung maupun tak langsung bersinggungan dengan siswa. Bukankah jika ditarik dari definisi ontologis, semua orang yang memberikan pengajaran dan pengaruh dapat disebut sebagai guru?
Sudah saatnya melepaskan stigma bahwa guru hanyalah orang yang berkutat di ruang kelas. Itu merupakan langkah awal memberikan beban moril kepada kita untuk membantu menyiapkan generasi tangguh yang berkemajuan.
Baca juga Berkurban dalam Pengorbanan Corona