Home Berita Satukan Langkah Menuju Indonesia Damai
Berita - 20/02/2017

Satukan Langkah Menuju Indonesia Damai

Sore itu setibanya di tempat tujuan, tim Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bergegas memastikan kenyamanan semua pihak yang akan terlibat dalam program safari kampanye perdamaian di sekolah di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Hal itu dilakukan mengingat dalam program tersebut AIDA berencana mempertemukan sejumlah korban aksi terorisme dengan mantan pelaku dalam acara Pelatihan Tim Perdamaian.

Sempat muncul kekhawatiran akan kemungkinan adanya korban terorisme yang kurang mampu mengontrol perasaan ketika bertemu dengan mantan pelaku dalam satu ruang dan waktu. Namun, kekhawatiran itu sirna setelah korban dan mantan pelaku terorisme bertemudan saling mengenal secara utuh dalam Pelatihan Tim Perdamaian AIDA di Surakarta.

Pelatihan Tim Perdamaian merupakan langkah awal AIDA dalam upaya membentuk satu tim solid yang terdiri dari unsur korban dan mantan pelaku terorisme untuk mengampanyekan pentingnya perdamaian kepada generasi muda. Pelatihan ini digelar sebelum pelaksanaan safari kampanye perdamaian bertajuk Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di lima sekolah di Surakarta atau Kota Solo.

Lima korban dan seorang mantan pelaku aksi terorisme dengan khidmat mengikuti Pelatihan Tim Perdamaian AIDA yang berlangsung di Hotel Novotel Solo pada Sabtu-Minggu (14-15/11/2015). Mereka adalah Chusnul Chotimah, Endang Isnanik, I Wayan Sudiana, R. Supriyo Laksono (korban Bom Bali 2002) dan Dwi Welasih (korban Bom JW Marriott 2003), serta seorang mantan pelaku yang pernah terlibat dalam kelompok ekstremis, Iswanto.

Pada hari pertama, para korban dan mantan pelaku berbagi cerita tentang perjalanan hidupnya. Mereka mengisahkan bagian-bagian yang paling menyenangkan dan yang paling menyedihkan dalam kehidupan masing-masing, tak terkecuali saat mengalami atau menjadi korban peristiwa peledakan bom terorisme belasan tahun silam.

Saat korban berbagi kisah, suasana ruangan pelatihan menjadi hening. Dengan perasaan berat, suara terbata-bata dan diselingi isak tangis, satu persatu korban berusaha kuat membagi kisahnya dalam pelatihan. Semua yang ada di ruangan pelatihan terharu mendengarkan kisah korban saat mengalami musibah terkena ledakan bom terorisme.

I Wayan Sudiana dan R. Supriyo Laksono kehilangan istri, Endang Isnanik kehilangan suami, dan Chusnul Chotimah mengalami luka bakar 70 persen di sekujur tubuhakibat ledakan bom berdaya ledak tinggi yang mengguncang kawasan Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002 silam. Sementara itu Dwi Welasih mengalami luka bakar di bagian kaki akibat ledakan bom di Hotel JW Marriott di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, 5 Agustus 2003.

Mendengarkan kisah para korban, Iswanto yang pernah terlibat dengan jaringan teroris segera mengucapkan permohonan maaf. “Saya meminta maaf kepada bapak ibu semuanya, para korban, meski sebenarnya saya bukan pelaku dalam arti saya tidak terlibat dalam peledakan bom yang menimpa bapak dan ibu,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu Iswanto juga menceritakan pengalamannya dari awal bergabung dengan kelompok prokekerasan sampai akhirnya memutuskan keluar dari jaringan tersebut. Ia terlibat ke dalam jaringan kelompok kekerasan pada usia 19 tahun. Setelah sekitar 5 tahun bergerilya dengan kelompok radikal akhirnya ia mengundurkan diri dari keanggotaan kelompok itu karena menyadari jalan kekerasan sesungguhnya bukan solusi.

Para korban secara naluriah merasa kesal dan kecewa terhadap mantan pelaku yang dinilai telah membuat mereka mengalami kecacatan atau mengakibatkan mereka kehilangan orang-orang tercinta. Salah satu korban sempat tak kuasa menahan perasaan dan bertanya kepada Iswanto setelah menceritakan pengalaman hidupnya. “Saya ingin tahu perasaan Bapak setelah melihat keadaan korban seperti saya atau teman-teman saya ini,” tutur Chusnul Chotimah.

Iswanto sebagai pihak mantan pelaku sangat memaklumi perasaan Chusnul yang menderita luka bakar permanen akibat aksi teror bom. Menanggapi pertanyaan Chusnul, Iswanto kembali mengucap maaf atas kekhilafan masa lalunya. Ia mengaku sangat sedih dan merasa sangat bersalah setiap mendengarkan kisah korban yang begitu menderita akibat aksi teror.

“Bapak dan ibu semua, saya mengetahui dan mendengarkan kisah korban seperti bapak ibu semua ini pertama kali di Lamongan (dalam kegiatan safari kampanye perdamaian AIDA di Lamongan-red). Sejak itu setiap mengikuti kegiatan yang mengharuskan saya bertemu dengan korban, saya langsung merenung, merasa sedih, merasa bersalah meski saya bukan termasuk pelaku peledakan bom,” kata dia.

Hari pertama Pelatihan Tim Perdamaian AIDA pada Sabtu siang itu sungguh penuh haru. Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, di tengah pelatihan mengatakan kegiatan ini diselenggarakan sebagai media untuk saling mengenal secara utuh satu sama lain, baik sesama korban maupun antara korban dan mantan pelaku kekerasan. “Kombinasi korban dan mantan pelaku akan sempurna untuk mengampanyekan perdamaian,” ujarnya.

Seiring waktu, sesi demi sesi hari pertama Pelatihan Tim Perdamaian pun berlalu.Secara perlahan suasana pelatihan berubah dari yang awalnya tegang menjadi lebih cair setelah para korban dan mantan pelaku semakin dalam saling mengenal sosok masing-masing. Pada hari kedua, mereka terlihat akrab bahkan jalinan kebersamaan dan kekeluargaan begitu terasa, seakan-akan tidak ada sekat antara korban dan mantan pelaku, begitu pula sesama korban. Mereka saling berbincang tentang berbagai hal, bergurau dan tidak jarang bercanda dengan lepas.

Pada hari kedua pelatihan, korban dan mantan pelaku kekerasan mendapatkan bimbingan menyusun materi presentasi tentang kisahnya masing-masing yang akan disampaikan dalam kegiatan kampanye perdamaian di sekolah. Selain itu, mereka juga mendapatkan pelatihan teknik berbicara di depan umum agar dapat menjadi narasumber yang baik dalam menyampaikan materi.

Secara umum Pelatihan Tim Perdamaian AIDA sukses menyatukan langkah korban dan mantan pelaku kekerasan menuju kehidupan Indonesia yang lebih damai. Mantan pelaku telah meminta maaf kepada korban dan menyesali aktivitas masa lalunya. Di lain pihak, korban pun telah mengikhlaskan kepedihan masa lalunya dan menerima permohonan maaf tersebut. Kini mereka bersaudara, menjadi “keluarga baru” dan saling berkomitmen untuk selalu menjalin komunikasi serta bersatu padu mewujudkan Indonesia yang lebih damai. (AS) [SWD]

 

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi VII Januari 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *