Hak Korban Terorisme Nyaris Diabaikan
Pemerintah nyaris mengabaikan hak-hak para korban terorisme. Padahal korban terorisme yang harus menanggung kegagalan negara dalam melindungi warganya. Dampak kejam aksi terorisme menjadi derita psikis berkepanjangan di kalangan korban.
“Selama ini negara mengabaikan hak-hak warganya yang menjadi korban terorisme. Padahal yang paling merasakan dampak terorisme itu korban,” kata Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi dalam kegiatan Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media, Senin (13/2/2017) di Medan.
Hasibullah mengatakan upaya pemberantasan terorisme selama ini berjalan tanpa ada kesadaran akan perspektif korban. Perspektif korban merupakan kesadaran agar negara seharusnya bertanggungjawab secara penuh atas segala kebutuhan medis maupun psikis para korban hingga mereka benar-benar sembuh seperti semula.
“AIDA menemukan beberapa korban bom terorisme yang harus menunggu lama untuk mendapatkan penanganan medis lantaran menunggu jaminan pembiayaan dari pemerintah. Pada masa pemulihan korban justru lebih banyak dibantu pihak swasta ataupun kedutaan besar negara lain. Padahal kewajiban negara menanggung seluruh akibat yang terjadi, khususnya yang dialami para korban sejak masa kritis hingga pemulihan,” urai Hasibullah.
Tak hanya itu, menurut Hasibullah, penderitaan korban terorisme juga bertambah karena penerapan pemberian hak konpensasi, restitusi dan rehabilitasi sesuai UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ternyata jauh dari harapan. Korban selalu berjuang sendirian untuk memenuhi segala kebutuhan medis maupun psikis setelah menjadi korban terorisme.
“Selama ini, kita temukan tak ada satupun korban terorisme mendapat kompensasi. Karena hak kompensasi ini baru bisa dibayarkan setelah adanya putusan pengadilan dan panjangnya prosedur yang harus dilalui korban,” jelasnya.
Karena itu, Hasibullah berharap pada revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme nantinya agar dimasukkan ketentuan bahwa negara memberikan jaminan penanganan kepada korban terorisme pada masa-masa kritis. Tak hanya itu, juga dibutuhkan regulasi mengenai pemberian kompensasi agar tak perlu menunggu adanya mekanisme putusan pengadilan, tapi melalui assessment lembaga yang ditunjuk.
“Semua rumah sakit harus bisa langsung menangani korban terorisme. Ketentuan mengenai kompensasi harus diperbaiki tidak perlu mekanisne pengadilan lagi. Besaran nominal kompensasi sesuai kategori penderitaan korban juga harus diatur. Karena itu, dibutuhkan regulasi yang memadai untuk memastikan penderitaan korban terorisme tak berlipat akibat absennya negara,” tegasnya.
(fidel)
*Artikel ini pernah dimuat di Garuda Online 13 Februari 2017. [SWD]