Home Berita Dari Curiga Menjadi Saudara
Berita - 15/12/2016

Dari Curiga Menjadi Saudara

Sangat mengharukan. Itulah yang terasa ketika korban bom dengan mantan pelaku terorisme bertemu dalam satu ruang dan waktu menceritakan bagian-bagian yang paling menyenangkan dan yang paling menyedihkan dalam perjalanan hidupnya. Mereka bertemu dalam Pelatihan Tim Perdamaian yang digagas Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Hotel Santika Premiere Bintaro, Sabtu-Minggu (21-22/3/2015), di sela-sela kegiatan kampanye perdamaian di Tangerang Selatan, Banten.

Beberapa korban aksi teror yang ikut pelatihan yaitu Ni Luh Erniati dan Suyanto (korban Bom Bali I), Iswanto dan Nanda Olivia Daniel (korban Bom Kuningan Jakarta), Vivi Normasari (korban Bom Hotel JW Marriott Jakarta I), dan Max Boon (korban Bom Hotel JW Marriott Jakarta II). Sementara mantan pelaku yang telah bertaubat dan tersadarkan ialah Ali Fauzi.

Pelatihan ini merupakan langkah awal dalam upaya membentuk Tim Perdamaian yang terdiri dari unsur korban dan mantan pelaku terorisme untuk mengkampanyekan perdamaian kepada generasi muda di sekolah-sekolah.

Di hari pertama pada sesi perkenalan, sebagian korban terlihat kaget ketika mengetahui ada Ali Fauzi sebagai mantan pelaku terorisme yang juga hadir dalam acara tersebut. Tidak ada suasana keakraban apalagi kekeluargaan di antara korban dan mantan pelaku. Sebaliknya nuansa kecurigaan sangat terasa.

 

Sesi demi sesi membawa mereka pada keakraban bahkan satu perasaan. Ketika Tim Perdamaian diminta untuk menceritakan perjalanan hidupnya, suasananya begitu haru dan sedih. Setiap orang yang ada di ruangan itu tidak kuasa menahan air mata ketika mendengarkan cerita para korban bom mengenai musibah yang dialaminya atau menimpa anggota keluarganya beberapa tahun silam.

Salah satu kisah yang mengharukan dari Ni Luh Erniati yang harus kehilangan suaminya akibat terkena ledakan bom terorisme di Sari Club Legian, Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002. Musibah itu mengakibatkan dirinya menjadi janda di usia yang masih relatif muda dan harus membesarkan kedua buah hatinya sendirian. Saat kejadian yang menimpa suaminya itu anak pertama berusia sembilan tahun dan anak kedua satu tahun. Sejak musibah itu hingga sekarang ia harus menjadi seorang ibu sekaligus ayah untuk kedua buah hatinya. Dengan perjuangan dan kerja kerasnya kini anak sulungnya telah meraih gelar sarjana, sementara bungsunya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Mendengarkan cerita korban, mantan pelaku Ali Fauzi pun tak kuasa menahan air mata bahkan mengaku hatinya tersayat. Bagi dia pengalaman mendengarkan cerita korban secara langsung kali ini merupakan yang kedua. Sebelumnya pada Oktober 2013 di Klaten, ia pernah bertemu dan mendengarkan kisah dari beberapa teman korban terorisme yang lain.

“Setelah mendengarkan cerita korban butuh satu bulan untuk merecovery pikiran saya. Saya selalu teringat cerita-cerita mereka, bahkan mental saya drop ketika mengingat ceritanya,” ujar Ali sembari menangis.

Seusai masing-masing orang menceritakan kisah perjalanan hidupnya, teman-teman korban bom diberikan kesempatan untuk bertanya atau mengeluarkan unek-uneknya kepada mantan pelaku. Korban pun ada yang menanyakan alasan kelompok teroris melakukan aksi bom yang mengakibatkan dirinya cacat fisik padahal tidak kenal dan tak tahu apa-apa tentang terorisme. Semua pertanyaan dan unek-unek tersebut dijawab oleh mantan pelaku dengan baik dan tenang. Hingga tercipta suasana yang lebih akrab di internal Tim Perdamaian.

Suasana yang awalnya penuh dengan saling curiga, kurang akrab dan cenderung tegang, perlahan berubah menjadi lebih cair di hari kedua setelah saling mengenal sosok masing-masing. Di hari kedua mereka terlihat akrab dan jalinan kebersamaan dan kekeluargaan begitu terasa. Mereka bisa saling berbicara, bergurau dan bercanda dengan lepas tanpa rasa curiga lagi.

Tak hanya itu, mereka juga saling bekerja sama untuk mempersiapkan materi presentasi yang akan disampaikan kepada generasi muda di sekolah-sekolah. Ali Fauzi sebagai mantan pelaku juga bersedia memberikan foto atau video yang terkait untuk bahan presentasi korban. Mereka berharap persaudaraan Tim Perdamaian tidak berhenti sampai disini, tapi bisa berlanjut terus di kemudian hari.

Kegiatan ini merupakan salah satu proses pemberdayaan dan pendampingan teman-teman penyintas agar bisa berperan dalam upaya membangun Indonesia yang lebih damai. Khususnya melalui rekonsiliasi antara korban dengan mantan pelaku terorisme. Hingga tercipta pesan perdamaian yang kuat dari Tim Perdamaian untuk menyongsong generasi muda yang tidak menggunakan kekerasan dalam menghadapi masalah-masalah ada. (AS) (SWD)

 

 

 

Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA edisi V, Juli 2015.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *