Sucipto Hari Wibowo (ketiga dari kanan)
Home Berita Penyintas Menyoal Visi Capres Tentang Terorisme
Berita - 21/01/2019

Penyintas Menyoal Visi Capres Tentang Terorisme

Aliansi Indonesia Damai– Debat perdana Pilpres 2019 usai digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Tema debat pertama adalah hukum, hak asasi manusia, korupsi, dan terorisme.

Baik pasangan Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi menegaskan komitmen untuk melawan dan menyelesaikan persoalan terorisme. Namun demikian, keduanya dinilai tidak menyentuh persoalan korban yang sampai saat ini masih banyak yang belum mendapat perhatian layak dari Negara.

Salah seorang korban Bom Kuningan 2004, Sucipto Hari Wibowo, berharap siapa pun presiden yang terpilih akan lebih memperhatikan nasib para penyintas terorisme. Sebab, penanganan terorisme di Indonesia yang selama ini dilakukan dinilai belum optimal melindungi korban. Menurutnya, sejak terjadi peristiwa teror bom terbesar di Bali pada tahun 2002, masih banyak korban yang belum menerima hak-haknya.

“Siapa pun presidennya, mohon perhatian, khususnya untuk hadir kepada korban. Karena sejak terjadi Bom Bali tahun 2002, JW. Marriott 2003, Kuningan 2004 dan peristiwa bom lainnya sampai saat ini, negara belum hadir kepada korban bom lama. Dalam hal ini negara harus memberikan perhatian, suatu pengakuan, atau suatu pengayoman kepada penyintas,” ujar Sucipto saat diwawancara jurnalis Metro TV, Kamis (17/1/2019).

Ia menambahkan, pada bulan Juni 2018 pemerintah telah mengesahkan undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 yang mengatur pemenuhan hak korban terorisme. Meskipun demikian, menurutnya, UU itu masih membutuhkan aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur mekanisme pengajuan dan pemberian bantuan, termasuk kompensasi, bagi korban lama sebelum UU itu disahkan. Ia berharap PP itu segera dibuat sebagai wujud kehadiran Negara kepada para penyintas.

“Memang di tahun 2016 Negara sudah hadir dan merealisasikan bantuan kepada sebagian korban melalui UU LPSK. Di sana ada bantuan medis, psikologis dan psikososial. Namun, untuk kompensasi kita masih menunggu Peraturan Pemerintah yang mengatur kompensasi korban. Kami terus mendorong penerbitan PP itu,” katanya.

Sucipto juga mengingatkan bahwa terorisme adalah musuh bersama bangsa Indonesia. Ia menilai terorisme bukan dari ajaran agama karena tidak ada satu pun agama yang menganjurkan umatnya untuk melakukan tindakan teror. “Kita harus kasih aspek pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa terorisme adalah musuh bersama. Tidak ada agama apa pun yang memerintahkan untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan atau pun tindakan radikal seperti terorisme,” tegas Ketua Yayasan Penyintas Indonesia itu.

Sucipto Hari Wibowo (ketiga dari kanan)
Dari Kiri Ke Kanan – Agus Kurnia (Penyintas Bom Thamrin), Ni Luh Erniati (Penyintas Bom Bali) Hasibullah Satrawi (Direktur AIDA),  Sucipto Hari Wibowo (Penyintas Bom Kuningan), Nanda Olivia Daniel (Penyintas Bom Kuningan), dan  Jihan Thalib (Penyintas Bom Kampung Melayu).

 

Secara terpisah Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, mengatakan bahwa persoalan terorisme di Indonesia yang paling dibutuhkan saat ini adalah penyelesaian, baik persoalan korban maupun persoalan mantan pelaku teroris. Negara diminta untuk menyelesaikan nasib para korban terorisme yang belum tersentuh bantuan dan juga nasib para mantan teroris agar bisa hidup normal di tengah kehidupan masyarakat.

Hasibullah juga mengingatkan bahwa terorisme nyata dan siapa pun bisa terpapar paham ekstrem. Ia mengajak masyarakat untuk menjaga diri, masyarakat, dan lingkungan dari paham-paham yang membahayakan itu. “Yang paling dibutuhkan saat ini adalah visi penyelesaian. Kita harus menyadari bersama bahwa terorisme itu adalah ril. Terorisme ada di antara kita. Oleh karena itu, kita harus bersama-sama menjaga agar tidak terpapar oleh paham-paham semacam ini,” pungkasnya. [AH]