Ni Luh Erniyati, salah satu korban bom Bali bercerita tentang pedihnya kehilangan suami atas bom Bali. (Dery Ridwansyah/JawaPos.com)
Home Inspirasi Aspirasi Damai Ibu, Inspirasi Damai Penyintas Terorisme
Aspirasi Damai - 18/01/2019

Ibu, Inspirasi Damai Penyintas Terorisme

ALIANSI INDONESIA DAMAI – Ibu adalah pahlawan bagi anak-anaknya. Ia rela berkorban demi kebahagiaan buah hati tanpa mengharap balasan. Ibu merupakan sosok yang penuh kasih tanpa batas. Ada kalanya anak berbuat salah, namun hati jauh lebih luas sehingga mampu meleburkan kesilapan itu. Ia adalah pendidik pertama dan utama bagi anak. Melalui kasih sayangnya, anak dapat merasakan nikmatnya kedamaian. Tak berlebihan bila penulis beranggapan bahwa ibu sumber perdamaian.

Sangat disayangkan, ibu atau kaum perempuan secara umum tak jarang menjadi korban kekerasan. Berbagai kasus seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, konflik komunal, atau terorisme sangat potensial mengancam keselamatan ibu dan kaum perempuan.

Dalam tulisan ini penulis akan mengulas semangat perdamaian yang ditunjukkan dua orang ibu yang merupakan penyintas dari aksi terorisme. Mereka adalah Nanda Olivia Daniel, korban langsung serangan teror bom di Jl. HR Rasuna Said kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004, dan Ni Luh Erniati, janda korban bom di Legian, Bali pada 12 Oktober 2002.

Dok. AIDA - Nanda Olivia Daniel
Dok. AIDA – Nanda Olivia Daniel

Nanda terkena dampak ledakan Bom Kuningan 2004 di bagian tangan. Gendang telinganya mengalami kerusakan dan jari-jari tangan kanannya tidak bisa difungsikan normal akibat peristiwa itu. Fakta bahwa tangannya menjadi cacat membekaskan trauma berat pada kondisi psikisnya.

Saat kejadian, ia adalah seorang ibu satu anak. Ia tinggalkan buah hati di rumah untuk pergi ke kampusnya, STIE Perbanas, yang berlokasi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, karena ada keperluan bimbingan skripsi. Seperti biasa ia naik bus kota untuk pergi ke kampus. Saat hampir sampai di tujuan, ia pun berdiri untuk bersiap turun. Di luar dugaan ledakan amat keras mengguncang. Ia merasakan bus kota yang ditumpanginya terangkat ke atas kemudian jatuh dengan keras membentur aspal. Ia dan beberapa orang jatuh tersungkur keluar kendaraan.

Nanda merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Kepanikannya semakin menjadi saat mengetahui jari tangannya mengeluarkan banyak darah dengan luka yang cukup lebar. Pengobatan dan pemulihan luka harus ia jalani di dalam dan luar negeri. Meskipun segala upaya pengobatan medis telah dilakukan, kondisi jari-jari tangannya tidak bisa dikembalikan seperti sedia kala.

Ia mengaku hampir berputus asa menerima kenyataan itu. Rasa malu dan kekhawatiran bila harus bersalaman dengan orang lain dengan kondisi tangannya yang tak sempurna selalu menggelayuti pikiran. Di tengah segala beban pikiran itu dukungan semangat dari ibundanya terus mengalir. Ia mengatakan bahwa bila saat itu sang ibu tidak selalu ada untuk mendampingi dan menyemangati, mungkin dirinya telah benar-benar akan berputus asa.

Perempuan berkaca mata ini pun merenung, mencoba untuk mengikhlaskan kejadian yang menimpa. Ia teringat akan nasihat ibunya bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hamba-Nya. Ibunya terus menyemangati bahwa ia adalah pribadi yang kuat.

Seiring waktu Nanda juga memahami bahwa dirinya juga seorang ibu. Buah hatinya masih membutuhkan kasih sayang yang lebih. Bila ia berputus asa tentu akan berdampak tidak baik bagi tumbuh kembang si anak. Secara perlahan akhirnya Nanda mampu ikhlas, melampaui kesedihan dan kepedihan akibat aksi teror.

Dok AIDA - Ni Luh Erniati membacakan puisi karyanya saat peringatan 13 tahun Bom Bali.
Dok AIDA – Ni Luh Erniati membacakan puisi karyanya saat peringatan 13 tahun Bom Bali.

Inspirasi yang kurang lebih sama ditunjukkan oleh Ni Luh Erniati. Erni, sapaan akrabnya, kehilangan suami tercinta, alm. Gede Badrawan, akibat ledakan bom di kawasan Legian, Bali pada 12 Oktober 2002. Kepergian suami memaksa Erni menghadapi berbagai tantangan hidup seorang diri dengan dua anak yang masih sangat belia.

Kesedihan yang ia rasakan tak berhenti di situ. Setelah kehilangan suami, Erni juga terancam akan dipisahkan dari anak-anaknya. Tradisi yang diyakini orang-orang di Bali cenderung bersifat patrilineal yang memungkinkan seorang ibu kehilangan hak perwalian anak bila bapak dari sang anak telah meninggal dunia. Pada saat yang sama, ia harus bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya dan anak-anak. Ia bersyukur bisa melalui berbagai tantangan hidup dalam membesarkan anak-anaknya dengan baik.

Terluka, sakit, trauma, dan berbagai penderitaan yang diakibatkan dari aksi teror tidak lantas membuat Nanda dan Erni ingin membalas dendam. Dalam kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA), mereka dipertemukan dengan mantan pelaku terorisme, orang-orang yang dahulu pernah terlibat dengan jaringan teroris sebelum akhirnya meninggalkan dunia kekerasan. Dua ibu itu mengakui memang tidak mudah melupakan kesedihan yang muncul akibat aksi-aksi yang dilancarkan para teroris. Namun, mereka memilih untuk memaafkan ketimbang membenci mantan pelaku.

Erni mengatakan bahwa menyimpan kebencian dan dendam di hati hanya akan menambah beban hidup. Senada dengan itu, Nanda menegaskan bahwa tidak ada manfaatnya bila kekerasan dibalas dengan kekerasan. Andai pun ia menimpakan kekerasan serupa seperti yang telah dialaminya kepada mantan pelaku, hal itu tidak akan bisa mengembalikan tangannya menjadi normal.

Semangat perdamaian semacam itu juga mereka tanamkan kepada anak-anak mereka untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Mereka meyakini bahwa balas dendam hanya akan menimbulkan kekerasan-kekerasan berikutnya, sedangkan dengan memaafkan, mereka berharap bisa tercipta kedamaian untuk masa depan.

Oleh: Septika Wahyu D