Mewujudkan Harapan Mendiang Suami
Aliansi Indonesia Damai – ”Ming, Bapak tidak pulang, Bapak sudah tidak ada. Jangan dipikirkan ya, masih ada ibu, masih ada kakek,” kata Wayan Rasni Susanti kepada putra ketiganya yang masih balita. Anak berusia 3 tahun itu selalu menunggu kedatangan sang ayah, Made Sujano yang meninggal dunia dalam tragedi Bom Bali di Jl. Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002 silam. Peristiwa itu terjadi tepat di hari ulang tahun anak ketiga pasangan Wayan Rasni dan almarhum Made Sujano.
Rasni membutuhkan waktu yang panjang untuk meyakinkan bocah tersebut bahwa sang ayah telah pergi selama-lamanya. Sampai tiga bulan setelah tragedi maut yang merenggut ratusan korban jiwa itu, anak Rasni masih terus berharap agar ayahnya bisa pulang dengan membawa oleh-oleh, bercanda, dan mengajaknya jalan-jalan sebagaimana biasanya.
Rasa sedih dan kehilangan juga dirasakan oleh anak pertama dan kedua Rasni. Saat peristiwa itu terjadi, anak pertamanya masih berusia 12 tahun, sedangkan anak keduanya berusia 6 tahun. Meskipun sulit, lambat laun mereka berdua bisa memahami apa yang terjadi pada waktu itu. Namun demikian, kehilangan sosok ayah di usia yang masih beranjak remaja adalah hal yang tidak diinginkan oleh setiap anak.
Seakan kembali ke masa lalu, Rasni pun bercerita. Beberapa waktu sebelum musibah itu terjadi, tak seperti biasa, Made Sujano (sang suami), kerapkali menemaninya memasak di dapur. Made pun menyampaikan harapan kepada Rasni agar kelak mereka bisa menyekolahkan ketiga buah hatinya hingga ke perguruan tinggi. Beberapa hari sebelumnya, Made sudah membelikan Rasni sepeda motor untuk keperluan anak-anak.
Monumen Ground Zero Bali
Pada pagi 12 Oktober 2002, Made yang bekerja sebagai satpam di Sari Club Bali, masih membantu sang istri menyiapkan segala keperluan untuk merayakan ulang tahun sang putra ketiga. Sayangnya, karena kewajiban pekerjaan, Made pun tidak bisa ikut merayakan momen bahagia sang anak. Rasni tidak pernah menyangka bahwa itu adalah akhir dari kebersamaan mereka.
Seusai perayaan ulang tahun tersebut, Rasni menemani ketiga buah hatinya sampai mereka terlelap. Walaupun begitu, Rasni sendiri tak kunjung tertidur dan sulit untuk memejamkan mata. Ia memilih membaca buku sembari bersandar di tembok. “Kira-kira jam 11 malam, saya kaget..terus takut..kok ada ledakan kayak begini…ada dentuman keras. Saya mengira ada ledakan di gardu listrik di dekat rumah,” ujar Rasni.
Namun demikian, ia heran dan terpikir, kenapa listrik di daerahnya tidak padam sebagaimana biasanya. Yang terjadi tidak demikian, lampu-lampu masih menyala dan terang benderang. Ia pun keluar rumah untuk mengetahui apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Semua terlihat normal dan tidak ada gangguan. Ia pun masuk ke dalam rumah dan kembali membaca buku.
Tak lama kemudian, dentuman lebih besar terdengar kembali hingga membuat dinding tempat ia bersandar bergetar. Rasni mulai resah, ia keluar rumah namun tak menemukan informasi apapun. Ia memutuskan kembali ke rumah dan mencoba untuk tidur. Tidak berselang lama, kakak iparnya datang dan memberikan kabar bahwa di tempat suaminya bekerja telah terjadi ledakan bom. “Anu..ada bom di Legian Kuta..kata kakak ipar saya..dia juga kuatir.”
Rasni mengaku gemetar dan tak berdaya mendengar kabar itu. Ia tak bisa membayangkan betapa dahsyatnya ledakan itu hingga dentuman dan getaran terasa sampai ke rumahnya. Padahal jarak dari Kuta ke rumahnya kurang lebih 11 KM.
Kakak Ipar Rasni sempat mencoba mencari di lokasi kejadian, namun dilarang oleh aparat kepolisian karena kondisi sangat gelap. Puing-puing bangunan dan banyak mayat berserakan. Hanya sepeda motor suaminya yang sudah hancur yang berhasil dia temukan. Seluruh anggota keluarga besar pun turun tangan untuk mencari Made di semua Rumah sakit terdekat dengan lokasi kejadian, namun tak juga ditemukan. Hingga 12 hari setelah ledakan itu terjadi, Made tak juga kunjung ditemukan, akhirnya keluarga besar memutuskan untuk melakukan upacara ngaben: upacara religi yang sakrat untuk melepas kepergiannya.
Namun, ujian kehidupan yang dihadapi Rasni belum selesai. Seiring berjalannya waktu, kesehatan mertuanya mulai menurun di tahun 2004. Di saat yang bersamaan, anak keduanya harus mendapatkan tindakan operasi usus buntu. Di hari-hari yang berat tersebut, datanglah kakak ipar Rasni memberikan kabar tentang suaminya. Ia membawa 8 amplop kecil berisi serpihan tulang dari jenazah suaminya yang berhasil ditemukan. Bahagia bercampur duka itu terjadi setelah satu tahun lebih lamanya penantian.
“Saya selalu ingat harapan mendiang suami untuk menyekolahkan ketiga anak kami hingga Pendidikan Tinggi.”
Musibah masih terus menghampiri keluarga Rasni. Pada tahun 2006, kakek bagi ketiga anaknya yang selama ini menjadi “ayah” bagi mereka meninggal dunia. Rasni pun harus berjuang seorang diri menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil dengan berjualan pakaian keliling. Ia selalu bertekad kuat demi ketiga buah hatinya. Katanya, “Saya selalu ingat harapan mendiang suami untuk menyekolahkan ketiga anak kami hingga Pendidikan Tinggi.”
Kini, setelah 17 tahun berlalu, ia bersyukur dapat bangkit dan mewujudkan harapan mendiang sang suami. Anak-anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi. Rasni pun mengaku tidak tebersit dendam atas apa yang telah menimpanya. Dalam berbagai kegiatan bersama AIDA, ia selalu menekankan kepada generasi muda, di manapun berada agar senantiasa menanamkan rasa cinta kasih di dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. (SWD)