Perjuangan Menghilangkan Trauma
Siapa pun pasti akan merasa senang dan bahagia ketika akan melangsungkan pernikahan. Namun, lain halnya dengan yang pernah dirasakan Vivi Normasari, salah satu korban bom terorisme di Hotel JW Marriott Jakarta, 5 Agustus 2003. Ia sempat mengalami ketakutan untuk melangsungkan pernikahan yang sudah direncanakan matang bersama calon pasangan hidupnya karena trauma akibat bom.
Rencananya, Vivi dan kekasih akan menikah pada November 2003. Namun rencana itu kandas lantaran tiga bulan sebelum pernikahan Vivi mengalami musibah, terkena ledakan bom. Akibat ledakan itu tangan kanan Vivi mengalami luka serius yang menyebabkan cacat permanen. Jari-jari tangan kanannya tidak bisa lagi difungsikan secara normal.
Dia mengaku tidak sanggup menerima kenyataan bahwa dirinya yang menderita cacat akibat bom akan berdampingan dengan sosok laki-laki yang memiliki fisik sempurna. Dia juga merasa malu bila harus bersalaman dengan para tamu undangan pernikahan dengan kondisi tangan yang cacat.
“Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dan membatalkan pernikahan. Itu trauma yang sangat berat yang saya alami,” ujarnya saat berbagi kisah dalam sebuah kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Bandung, Jawa Barat, Agustus lalu.
Kala peristiwa bom terjadi, Vivi bersama calon suaminya hendak makan siang di Restoran Syailendra Hotel JW Marriott Jakarta. Saat itu Vivi sedang duduk di restoran tersebut sembari menunggu calon suaminya membeli souvenir di salah satu gerai Hotel JW Marriott.
“Tiba-tiba saya mendengar bunyi ledakan. Saya refleks menoleh ke sumber asal ledakan dan seketika ada ledakan kedua yang sangat dahsyat. Kobaran api dari ledakan itu menyambar saya. Seketika saya tak sadarkan diri,” kata dia mengenang peristiwa saat itu.
Sesaat pascaledakan, ia dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Vivi mengalami luka di bagian leher, pundak, tangan, dan kaki. Selama beberapa bulan ia menjalani perawatan medis untuk menyembuhkan luka-lukanya. Ia juga menjalani fisioterapi tangan kanannya selama hampir setahun.
Selain fisioterapi, Vivi juga menjalani konseling dengan ahli psikologi klinis untuk mengatasi gangguan psikologis yang dideritanya. Saat itu Vivi mengalami depresi. Ia harus menjalani konseling hampir setahun. Bahkan hingga saat ini ia juga mengaku masih memerlukan konseling.
Satu tahun pascakejadian, Vivi diundang untuk menghadiri acara peringatan peristiwa Bom JW Marriott 2003 di hotel tersebut. Awalnya ia takut untuk menghadiri acara sebab trauma bila mendatangi lokasi hotel. Berkat dorongan dari psikiater yang mendampinginya ia bersedia menghadiri acara peringatan bom.
Dalam acara tersebut Vivi bertemu dengan para korban bom yang lain, salah satunya Bambang Trijanto, petugas keamanan Hotel JW Marriott, yang mengalami luka bakar serius di sekujur tubuhnya. Vivi merasa kagum dengan ketegaran Bambang yang meskipun terluka parah tapi masih bisa tersenyum dan semangat. “Saat itu Bambang bilang kalau sudah takdir Tuhan Yang Maha Kuasa mau apalagi, yang penting kita masih bisa diberikan kesempatan hidup. Ucapan tersebut menjadi energi positif bagi saya,” ujarnya.
Setelah banyak bertemu dengan teman-temannya sesama korban, Vivi pun sedikit demi sedikit bisa bangkit. Kepercayaan dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain mulai tumbuh. Setelah beberapa tahun, dia bisa mengalahkan ketakutan terbesar yang pernah membuatnya terpuruk, yaitu menghadapi pernikahan. Dia telah melupakan kenangan masa lalu dan memutuskan untuk membangun bahtera rumah tangga dengan seorang teman sekolahnya dulu.
Vivi bersama rekan-rekan senasib membuat organisasi sebagai wadah komunikasi para korban aksi teror bernama Yayasan Penyintas Indonesia. Dalam organisasi ini para korban saling menguatkan agar bisa bangkit menjalani kehidupan. Ia juga menjadi duta perdamaian bersama mantan pelaku terorisme. Dengan difasilitasi AIDA ia mengkampanyekan pentingnya perdamaian ke pelbagai kalangan termasuk para pelajar. [AS]