Home Suara Korban Bangkit Demi Buah Hati
Suara Korban - 18/05/2017

Bangkit Demi Buah Hati

Usianya masih 33 tahun kala itu. Kedua anaknya masih terlalu muda; lima tahun dan tiga tahun. Rumah tangganya baru berjalan sekitar enam tahun. Namun peristiwa tragis membuatnya harus menyandang status janda sekaligus single parent. Masih lekat betul dalam ingatannya, siang hari 5 Agustus 2003, ia menerima telepon dari wartawan salah satu media massa yang mengabarkan bahwa suaminya, Slamet Heriyanto, petugas keamanan Hotel JW Marriott Jakarta telah meninggal dunia. Saat dihubungi, Yayuk, demikian sapaan akrabnya, masih sibuk dengan pekerjaannya di salah satu pabrik elektronik di Depok Jawa Barat.

Yayuk sempat tak percaya atas kabar tersebut. Namun sepulang kerja, saat melihat pemberitaan di salah satu stasiun televisi swasta, terpampang jelas nama suaminya sebagai salah satu korban meninggal aksi teror Bom JW Marriott. Seketika dia merasa lemas tak bertenaga. Sejumlah kerabat yang mendampingi di rumah tak mengizinkan Yayuk menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), lokasi di mana jasad suaminya sempat disemayamkan.
Pihak RSCM baru mengantarkan jenazah Slamet keesokan harinya, pukul 3 pagi. Yayuk tak diperbolehkan melihat jasad suaminya. Namun dari foto yang ia terima, tubuh ayah dari kedua anaknya itu tampak gosong dan sudah tidak utuh. Selama berhari-hari, Yayuk larut dalam kesedihan. Ia sangat sulit menerima kenyataan bahwa sosok terkasihnya telah tiada. Tetapi seiring waktu ia menyadari bahwa semuanya adalah takdir Tuhan. Ia memilih pasrah dan berupaya bangkit untuk membesarkan kedua buah hatinya.
Yayuk kembali bekerja di pabrik, namun saat ada kebijakan pengurangan karyawan, dia termasuk salah satu yang diberhentikan. Dia lantas diajak temannya untuk merintis usaha dengan sistem bagi hasil. Berbekal uang santunan dari beberapa pihak, ia memberikan sejumlah uang kepada rekannya sebagai modal usaha. Awalnya, setiap bulan ia rutin mendapatkan kiriman uang bagi hasil. Akan tetapi, itu tak berlangsung lama. Setelahnya tak ada lagi. Ia berusaha menagih kembali uang modalnya namun tak menuai hasil. Ia sempat meminta bantuan hukum dari salah satu lembaga tetapi justru dimintai uang dua juta rupiah. Yayuk lantas memilih bersikap pasrah.
Ia kemudian membuka warung kecil di dekat salah satu sekolah dasar di daerah Depok sebagai sumber penghidupan untuk menafkahi dua anaknya. Yayuk bersyukur beban hidupnya terbantu lantaran biaya pendidikan kedua anaknya ditanggung sepenuhnya oleh Hotel JW Marriott Jakarta hingga jenjang sekolah menengah atas.
Dalam membesarkan kedua anaknya Yayuk mengajarkan agar tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap almarhum ayahnya. “Perbuatan tidak baik, jangan dibalas dengan perbuatan tidak baik. Doakan saja agar ayah mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah,” kata dia saat menasihati putra-putranya yang kini beranjak dewasa.
Hingga kini, Yayuk enggan membuka hatinya untuk pria lain. Ia bertekad mengisi sisa hidupnya  untuk mengantarkan dua buah hatinya menjadi insan yang saleh, bermanfaat bagi agama dan negara.
Satu dekade lebih pascatragedi teror Bom JW Marriott 2003, Yayuk mengikuti sejumlah kegiatan kampanye perdamaian yang diinisiasi oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Dalam kegiatan-kegiatan tersebut dia berbagi pengalaman menjadi pihak yang terdampak dari serangan aksi terorisme. Kisah hidupnya dipadukan dengan kesaksian mantan pelaku terorisme, orang-orang yang pernah tergabung kelompok teroris namun kini telah meninggalkan jalan kekerasan. Melalui proses panjang yang difasilitasi AIDA, ia telah berekonsiliasi dengan mantan pelaku. Kepada mantan pelaku teror Yayuk berpesan, “Jangan lagi mengulangi perbuatan itu. Apa pun niatnya, itu tetaplah pembunuhan. Suami saya sedang bekerja untuk menafkahi keluarga namun menjadi korban.” [MSY]
*Disarikan dari penuturan Mahanani Prihrahayu dalam kegiatan Pelatihan Tim Perdamaian AIDA di Bukittinggi (10/4/2016).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *