Home Berita Menguatkan Aturan Pemenuhan Hak Korban Dalam RUU Antiterorisme
Berita - 19/05/2017

Menguatkan Aturan Pemenuhan Hak Korban Dalam RUU Antiterorisme

Penyempurnaan atau revisi terhadap Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme saat ini masih dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Panitia Kerja (Panja) DPR yang terdiri dari berbagai anggota dewan lintas komisi sedang menggodok Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk memperbaiki sejumlah kelemahan. Salah satu pembahasan yang dilakukan Panja Rancangan Undang-Undang (RUU) No.15/2003 adalah mengenai aturan pemenuhan hak-hak korban terorisme.
Berkaitan dengan hal tersebut Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menyelenggarakan diskusi kelompok terbatas bertajuk “Memperkuat Regulasi, Mendorong Pemenuhan Hak-hak Korban Terorisme” di Jakarta akhir April lalu. Dalam kegiatan tersebut AIDA mengundang para tenaga ahli fraksi partai politik di DPR guna memperbincangkan masalah pemenuhan hak-hak korban yang tertera dalam UU Antiterorisme.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa UU yang ada saat ini memang sudah memuat aturan tentang tanggung jawab negara terhadap korban terorisme. Akan tetapi, fakta membuktikan implementasi pemenuhan hak-hak korban tidak berjalan dengan baik. Salah satu masalah yang cukup pelik adalah mekanisme pemberian kompensasi dari negara kepada korban terorisme yang mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Persoalan tersebut mengakibatkan belum terbayarkannya hak kompensasi para korban terorisme sejak serangan Bom Bali 2002 hingga Bom Thamrin 2016.
Dia menambahkan, belajar dari pengalaman korban-korban aksi teror di masa lalu, saat menderita cedera parah setelah terkena ledakan bom tak sedikit dari mereka harus menunggu lama mendapatkan penanganan medis dari rumah sakit lantaran belum ada jaminan pembiayaan dari pemerintah. Berdasarkan penuturan sebagian korban kepada AIDA, pada masa pemulihan pascaperawatan di rumah sakit para korban juga tak merasakan adanya kehadiran negara. “Korban justru lebih banyak dibantu pihak swasta atau pihak kedutaan besar negara lain,” ujarnya.
Dari berbagai kelemahan tersebut Hasibullah berharap para tenaga ahli fraksi dapat memberi masukan kepada para pembuat UU di parlemen agar menyempurnakan aturan tentang pemenuhan hak korban. Langkah ini dinilai penting mengingat RUU Antiterorisme termasuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2017.
Dalam kegiatan diskusi dipaparkan DIM yang telah disusun oleh Tim AIDA dan telah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR. Forum diskusi membahas pasal-pasal yang dinilai perlu diperkuat agar lebih efektif dan dapat diimplementasikan untuk memenuhi hak-hak korban terorisme.
Sembilan dari sepuluh fraksi yang ada di DPR mengirimkan delegasi tenaga ahli untuk mengikuti diskusi yang diselenggarakan AIDA. Seluruh tenaga ahli yang hadir menyatakan setuju bahwa korban aksi terorisme harus menjadi tanggung jawab negara. Dinamika dalam diskusi terjadi saat para peserta membahas tentang pentingnya naskah akademik RUU Antiterorisme memuat aturan pemenuhan hak korban secara detail. Sebagian tenaga ahli menilai naskah akademik UU harus dibuat secara umum sedangkan aturan yang lebih rinci sebaiknya dituangkan dalam turunannnya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP). Sementara itu, sebagian tenaga ahli lainnya berpandangan bahwa bunyi pasal seperti yang diusulkan AIDA dalam DIM penting untuk diakomodasi mengingat aturan sebelumnya cukup banyak menimbulkan masalah. [F] (SWD)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *