Berdamai Dengan Masa Lalu
“Saya diketemukan dengan AIDA. Saya sangat-sangat semangat untuk bergabung, untuk damai, biar saya tidak punya kesedihan, jadi saya bisa bangkit kembali.”
Demikian penyintas aksi teror Bom Bali 2002, Tumini, mengungkapkan perasaannya dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 1 Bolo Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, akhir September 2015. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA), lembaga yang beperhatian pada isu pemberdayaan penyintas terorisme.
Tumini mengenal AIDA pertama kali pada tahun 2013 di Klaten, Jawa Tengah, dalam sebuah kegiatan yang melibatkan sejumlah penyintas terorisme. Dalam kegiatan tersebut AIDA mempertemukan penyintas dengan mantan pelaku terorisme, dengan harapan kedua pihak dapat saling berekonsiliasi kemudian secara bersama-sama berjuang untuk mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat di seluruh Indonesia.
Dari proses fasilitasi yang dilakukan AIDA, perempuan paruh baya itu secara berangsur dapat ikhlas menerima takdir menjadi korban Bom Bali, dan telah memaafkan mantan pelaku terorisme. Sejak itu, Tumini aktif mengikuti berbagai kegiatan yang diinisiasi oleh AIDA.
Dalam kegiatan di Bima, Tumini berbagi kisah pengalamannya menjadi seorang penyintas serangan teror. Wanita kelahiran Singaraja, 27 Desember 1974, itu tinggal dan mengenyam pendidikan di Desa Sumberkima, Kabupaten Buleleng, Bali. Lantaran keterbatasan ekonomi dia bersekolah sampai tingkat SMP saja. “Mau masuk ke sekolah SMA tapi keluarga tidak mampu. Setelah lulus SMP saya merantau ke Denpasar. Saya harus merantau untuk menghidupi keluarga saya yang tidak mampu dan untuk adik-adik saya yang masih sekolah di kampung,” kata Tumini.
Di Denpasar Tumini bekerja di sebuah kelab malam sebagai penyedia minuman. Di tempat kerjanya itulah pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 dia mengalami musibah ledakan Bom Bali. Dia menceritakan, saat sedang meracik minuman tiba-tiba terjadi ledakan besar yang seketika melemparkan tubuhnya dan memporakporandakan tempat kerjanya. Dalam kondisi tak berdaya itu Tumini berusaha bangkit.
“Saya ingat karena saya jadi tulang punggung keluarga, saya ingat dengan anak, jadi saya bangkit kembali, lari dengan tubuh terbakar. Saya loncat dari jendela. Keluar jendela itu saya masih bawa api, kulit, semua badan saya terbakar, baju dan celana sudah terbakar,” ujarnya.
Setelah melompat dari jendela Tumini berlari sambil memegangi perutnya yang terluka. Dia berlari meminta pertolongan kepada setiap orang yang dia temui namun tak ada yang sempat menolong karena semua orang panik saking banyaknya korban berjatuhan. Tumini berlari kembali hingga menemukan kolam renang di sebuah hotel. Dia menceburkan diri ke kolam renang sehingga api di sekujur tubuhnya bisa padam.
Setelah itu seorang wisatawan asing datang menolongnya hingga ambulans membawanya ke rumah sakit (RS). Dia dibawa ke RS Sanglah namun tidak langsung mendapatkan perawatan dokter. Dia dibaringkan di lapangan RS, bercampur dengan jenazah atau bagian tubuh yang ditemukan dari korban lainnya. Keesokan harinya dia baru mendapat perawatan.
Luka bakar yang diderita Tumini mencapai 45 persen. Kondisinya sangat lemah setelah mendapatkan perawatan dokter. Dia berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit. “Saya pertahankan sampai selesai kulit saya dikupas, digunting, kupas, gunting, kaya orang mengupas kulit ayam. Saya bertahan saja karena saya berpikir saya ingin hidup, saya punya anak untuk saya besarkan, dan ada adik-adik dan orang tua saya yang harus saya hidupi,” kata dia.
Setelah beberapa waktu menjalani perawatan di RS Sanglah, Tumini didiagnosa bahwa di kepalanya terdapat logam besi. Dia mengatakan, RS Sanglah tidak bisa mengatasi karena peralatannya terbatas sehingga diberangkatkan ke Australia bersama lima orang korban lainnya. Dia menerima perawatan medis di negeri tetangga selama tiga bulan hingga kondisi kesehatannya pulih.
Sepulang dari perawatan di Australia, kesedihan kembali menyelimuti Tumini. Karena tempat kerjanya diserang kelompok teroris, dia kehilangan pekerjaan. Dia ingin bekerja untuk menafkahi anak dan keluarga namun melamar ke mana-mana tidak diterima. Dia mengaku semangat hidupnya sempat turun dan hampir berputus asa.
Lelah melamar kerja ke sana-sini, akhirnya Tumini memutuskan untuk berwirausaha. “Saya buka usaha sendiri kecil-kecilan. Saya bungkus nasi, bawa ke bandara. Dari jam tiga pagi saya bangun, jam enam sudah selesai tiga ratus bungkus. Jam enam pagi saya sudah di bandara jual nasi bungkus, jam sebelas sudah habis nasi saya. Alhamdulillah Tuhan memberi saya rezeki yang begitu melimpah jadi saya bisa bangkit kembali,” tuturnya.
Pada 2013 Tumini bergabung dengan AIDA untuk mengampanyekan perdamaian di Indonesia. Dia mengaku senang dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan AIDA dia mendapatkan pelatihan penguatan mental sehingga dapat mengikhlaskan masa lalu. Selain itu, dengan bergabung di AIDA dia dapat terlibat dalam usaha mewujudkan perdamaian di masyarakat. (MLM) [SWD]