Dialog Siswa SMAN 5 Surakarta dengan Mantan Ekstremis
Aliansi Indonesia Damai- AIDA melaksanakan Dialog Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 5 Surakarta pada Sabtu (06/02/2021). Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Kurnia Widodo, mantan pelaku ekstremisme kekerasan.
Kurnia berkisah tentang awal keterlibatannya dalam kelompok ekstremisme kekerasan hingga pertobatannya kepada jalan perdamaian. Setelah mendengar paparan Kurnia, siswa diberikan kesempatan untuk bertanya maupun berpendapat. Salah satu peserta menanyakan sumber pendanaan kelompok ekstremis untuk menjalankan aktivitasnya.
Kurnia menjelaskan bahwa pendanaan kelompok tersebut berasal dari berbagai sumber. Misalnya dari anggota kelompok yang mapan secara ekonomi, infak anggota, atau bisa juga dari hasil perampokan yang dikenal dengan istilah fai’.
“Kita menghalalkan merampok harta orang-orang yang kita kafirkan. Ada juga donatur dari luar negeri yang bisa dikirim, atau dari infak masyarakat yang dialihkan untuk kepentingan organisasinya,” ujar Kurnia.
Sementara seorang peserta perempuan bertanya mengenai tanda-tanda orang yang mengikuti kelompok ekstremis, terkhusus ciri fisik atau tampilan luar lainnya. Menanggapi hal itu, Kurnia menjelaskan bahwa penampilan fisik seperti jenggot lebat, celana cingkrang, jilbab besar, cadar, bukanlah ciri ekstremisme.
Kurnia lantas mengajak agar para remaja lebih teliti dengan pemahaman kelompok ekstremis. Ciri mereka antara lain mudah mengkafirkan, menghalalkan harta dan darah orang yang dianggap kafir, menganggap Indonesia sebagai negara kafir, setiap orang yang loyal kepada negara divonis murtad, serta menganggap paham di luar kelompoknya sebagai sesat.
Peserta lain menanyakan tentang tujuan ekstremis melakukan aksi teror. Menurut pengalaman Kurnia, tujuan kelompok ekstrem terkesan baik karena ingin membalas kezaliman atau ketidakadilan, misalnya kezaliman terhadap umat Islam di Palestina, Irak, dan lain-lain. Namun cara-cara yang ditempuh tidak dapat dibenarkan karena dengan teror.
Teror dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya mengebom target yang dianggap mewakili musuh. Padahal aksi tersebut justru menciptakan ketidakadilan dan kezaliman yang baru, karena korban yang berjatuhan tidak mengerti kenapa mereka terkena atau menjadi sasaran. “Maka adik-adik, janganlah konflik-konflik di luar sana (misal di Irak, Palestina, Suriah dan lain sebagainya) dibawa ke tempat yang damai seperti Indonesia,” ucapnya.
Pada akhir kegiatan, salah seorang siswa menyampaikan pembelajaran yang ia dapatkan dari Kurnia. Menurut dia, kisah Kurnia yang terpapar ekstremisme sejak SMA memberikan alarm bahwa generasi muda rentan dipengaruhi oleh paham-paham yang menyimpang sehingga harus mewaspadai lingkungan pertemanannya. (MSH)