13/02/2021

Memilih Guru Damai

Guru memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan karakter dan sifat seorang murid. Salah satu tantangan guru sebagai pendidik adalah tidak hanya sekadar mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga menjadi inspirasi dalam menyemaikan benih-benih kemaslahatan, bagi pribadi murid maupun khalayak luas. Sayangnya tak semua orang yang berstatus guru mampu memainkan peran itu.

Penulis belajar dari kisah sejumlah mantan pelaku ekstremisme yang mengaku menempuh jalan kekerasan akibat doktrin gurunya. Dalam kajian terorisme memang ada banyak faktor yang membuat seseorang terjerat pada ekstremisme hingga puncaknya bersedia mati demi merebut status syahid.

Baca juga Pertobatan untuk Perdamaian

Salah satu faktornya antara lain ketidakadilan dan upaya pembalasan dendam atas apa yang menimpa saudara seagamanya di belahan wilayah lain. Faktor jaringan pertemanan dan lingkungan sosial juga bisa mendorong orang terlibat dalam jaringan ekstremisme. Faktor lain adalah relasi guru dan murid (discipleship).

Kita bisa belajar dari kisah mantan narapidana terorisme, Mukhtar Khairi. Ia pernah bergabung secara sukarela dengan kelompok yang menghalalkan aksi kekerasan hingga menumpahkan darah manusia tak bersalah atas nama jihad. Tak pelak, untuk memertanggungjawabkan perbuatannya, ia harus mendekam di balik jeruji besi Lapas Cipinang Jakarta.

Baca juga Menjaga Lingkaran Terdekat

Ketika berada di dalam Lapas, Mukhtar Khairi justru tidak berkurang pemahaman ekstremnya. Di dalam penjara, ia bertemu dan berguru kepada Aman Abdurrahman (kini berstatus terpidana mati kasus terorisme). Bahkan dirinya diminta menggantikan Aman saat berhalangan mengajar, karena kapasitas keagamaannya yang dinilai cukup mumpuni.

Namun Mukhtar juga mencoba untuk belajar tidak hanya kepada satu orang guru. Ia menempa dirinya belajar dari banyak guru yang didatangkan dari luar Lapas. Secara perlahan pemahaman keagamaannya lebih terbuka, tidak saklek, dan mulai berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain yang berbeda pemahaman. Puncaknya ia meninggalkan kelompok kekerasan.

Baca juga Anomali Jihad

Dari kisah itu, pembelajaran yang harus diambil adalah selektif dalam memilih guru. Di sinilah pentingnya mencari sanad keilmuan yang tepat. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh Muhammad Ibnu Sirin, sebagaimana dinukil oleh Muslim al-Hajjaj dalam karyanya, Shahih Muslim, “Inna hadzal ilma dinun fanzhuru amman ta’khudzuna dinakum: sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian.”

Jika agama merupakan inspirasi untuk perdamaian, maka pendidikan sudah pasti bertujuan membangun perdamaian. Pendidikan menitikberatkan kepada pengembangan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik itu bersifat kognitif, motorik, dan afektif seseorang dalam rangka membangun pribadi yang mampu menciptakan kemaslahatan luas. Dalam konteks ini, guru sebagai aktor utama pendidikan memainkan peran kunci.

Baca juga Pemaafan Penyintas Bom Thamrin untuk Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *