Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 2-Terakhir)
Oleh KH. Helmi Ali Yafie
Sekretaris Jenderal Darud Dakwah wal-Irsyad
Kedua, yang ingin saya sampaikan adalah karakter atau tabiat Islam, yang disebut “umatan washatan”. Ini mengacu kepada QS al-Baqarah: 143:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.”
Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 1)
Ibnu ‘Asyur mendefinisikan kata “wasathan” dengan dua makna. Pertama (menurut etimologi), berarti sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Kedua, (menurut bahasa), wasath berarti nilai-nilai Islam yang yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan. Adapun makna ‘ummatan washatan’ pada ayat di atas adalah umat yang adil dan terpilih, yang paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan. Oleh sebab itu mereka menjadi ummatan washatan, umat yang sempurna dan adil yang menjadi saksi bagi seluruh umat manusia di hari kiamat nanti (Ibnu ‘Asyur: At-Tahrîr Wa At- Tanwîr, 1984, Juz. II, h. 17-18).
Praktik Wasathiyah meliputi: (1) Tawassuth (mengambil jalan tengah) yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama); (2) Tasamuh (toleransi) yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya; (3) Tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan atau agama, tradisi, dan asal usul seseorang, (4) Syura (musyawarah) yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.
Baca juga Keikhlasan dan Pengampunan Menyembuhkan Luka: Kisah Andi Dina Noviana, Penyintas Bom Thamrin
Praktik amaliyah keagamaan Islam Wasathiyah ini perlu didakwahkan sebagai implementasi Islam rahmatan lil alamin.
Makna Dakwah
Esensi dakwah adalah mengingatkan, membimbing dan mengajak manusia untuk amar ma’ruf nahi munkar; yang bisa bermakna ‘membangun daya dorong terhadap kebaikan, dan membangun daya tolak atau daya tahan terhadap kemunkaran; (1) Berbuat baik dalam segala hal sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya; (2) Meninggalkan segala hal yang dilarang dan bertentangan dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya; dan (3) Mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat yang diridhai Allah SWT.
Dakwah sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan respons terhadap berbagai masalah dalam kehidupan. Masalah kehidupan tersebut mencakup seluruh aspek, seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, hukum, politik, sains, teknologi, dan sebagainya. Untuk itu dakwah haruslah dikemas dengan cara, metode dan konten yang tepat dan pas.
Baca juga Cermat dengan Stigma Sosial
Dakwah harus tampil secara aktual, faktual dan kontekstual. Aktual dalam arti merespons persoalan kekinian. Faktual dalam arti konkrit dan nyata, sedangkan kontekstual dalam arti relevan dan menyangkut problem yang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Seorang pendakwah dalam melaksanakan dakwahnya harus senantiasa mengedepankan karakter lemah lembut. Memiliki kepekaan terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan.
Pendekatan dakwah
Saya kira dakwah adalah tugas kenabian. Oleh karena itu seorang pendakwah juga harus memiliki karakter Nabi. Tentang karakter Nabi SAW, lihat QS at-Taubah: 128:
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Baca juga Jihad untuk Perdamaian
Saya percaya ada banyak orang memiliki karakter seperti, dan itu biasanya ditempa oleh pengalaman. Tetapi secara umum, perlu dibentuk melalui pendidikan khusus, dengan pendekatan pendidikan orang dewasa, atau yang biasa juga disebut dengan ‘belajar dari pengalaman’. Karena berangkat atau bertumpu pada realitas sekitar kita.
Dalam prosesnya, peserta pendidikan khusus ini diminta mengamati realitas, hubungan kita dengan sesama, hubungan dengan alam, dan merenungkannya, dengan metode-metode tertentu. Sehingga peserta dapat mengambil pelajaran yang membuat mereka bisa mempunyai cara pandang baru terhadap realitas.
Baca juga Negara Madinah: Potret Ideal Pemerintahan Islam
Dengan cara seperti itu terbangun penghargaan yang tinggi kepada sesama, kepada alam, menghargai perbedaan. Ini cara untuk membangun kepekaan. Ketika kembali kepada komunitasnya, mereka tidak lagi hanya sekadar ceramah tetapi juga mau mendengarkan, berdialog dengan komunitasnya, merespons persoalan-persoalan komunitas secara bersama. Mereka melakukan pendampingan atau pengorganisasian masyarakat.
Dakwah tidak berbentuk satu arah lagi. Tetapi dua arah atau bahkan berbagai arah. Dalam situasi seperti sekarang ini, pendekatan semacam ini cukup efektif untuk dikembangkan.
Baca juga Terapi Pemaafan