05/07/2021

Keikhlasan dan Pengampunan Menyembuhkan Luka:
Kisah Andi Dina Noviana, Penyintas Bom Thamrin

Oleh Linda Astri Dwi Wulandari
Magister Humaniora Universitas Indonesia
Assistant Program Manager Advokasi dan Rehabilitasi Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

“Saya mau tidur, Ya Allah. Satu malam saja.” Doa lirih itu dipanjatkan Andi Dina Noviana –biasa dipanggil Andin– di salah satu malam kelam pascamusibah Bom Thamrin 2016 yang menimpanya. Selama 3 bulan ia tak pernah bisa memejamkan mata untuk merasakan nikmatnya terlelap di malam hari. Trauma luar biasa ia rasakan.

“Setiap mau coba merem, selalu ketarik dengan kejadian saat itu. Ketika terbayang kejadiannya, badan dan kepala saya rasanya panas. Yang ada saya panic attack, teriak, menangis, dan pusing,” ujarnya.

Baca juga Cermat dengan Stigma Sosial

Insomnia akibat dari ketakutan dan kecemasan dalam diri Andin dalam pandangan psikologis, merupakan gejala dari Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). National Center for Post-Traumatic Stress Disorder (NCPTSD) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan kejiwaan yang terjadi pada individu yang memiliki pengalaman menyaksikan secara langsung suatu peristiwa yang mengancam seperti pertempuran, bencana alam, insiden teroris, kecelakaan yang serius, atau kekerasan yang menyerang seseorang seperti pemerkosaan (https://www.ptsd.va.gov).

Individu tersebut dapat mengalami suatu perasaan seolah kembali pada peristiwa traumatis itu atau biasa disebut sebagai intrusi. Peristiwa traumatis yang pernah dialami secara tidak sadar bisa muncul kembali dalam pikiran pengidap, baik sebagai ingatan yang jelas atau bisa juga mimpi buruk. Benda-benda, tempat, situasi, ataupun perasaan apapun dapat mengingatkan pengidap akan traumanya, sehingga dapat menyebabkan tekanan yang hebat. Bagi Andin melewati masa-masa itu tentu bukan sesuatu yang mudah.

Mengenang Memori Pahit Tragedi Bom Thamrin

Andin, demikian sapaan akrab Andi Dina Noviana, tak akan pernah lupa detik-detik sebelum terjadi ledakan yang mengubah hidupnya. Saat itu Andin sedang menikmati kopi dan sarapan di salah satu restoran di jalan MH. Thamrin Jakarta Pusat, sembari menyelesaikan perkerjaannya sebagai karyawan Digital Marketing di salah satu perusahaan di Jakarta. “Kondisi saat itu tidak ada yang mencurigakan. Normal seperti biasa. Sekitar 40 menit kemudian, baru terjadi ledakan,” katanya.

Kejadiannya begitu cepat. Andin kehilangan kesadaran beberapa saat hingga kemudian melihat asap pekat mengepul di sekelilingnya dan hawa panas terasa. Ia tertimpa reruntuhan meja dan atap restoran. Andin merasa badannya lemas, namun dengan sekuat tenaga ia mencoba keluar dari lokasi ledakan. Ia tak sadar melompat dari jendela setinggi 1,5 meter. Sontak ia terjatuh. “Saat saya jatuh, terjadi ledakan kedua di Pos Polisi,” ujar perempuan asal Sulawesi Selatan ini.

Baca juga Jihad untuk Perdamaian

Dua ledakan kencang yang terjadi, membuat telinga Andin terus berdengung kencang. Ia tak bisa lagi mendengar apa pun di sekelilingnya. Beruntung ada orang yang menolong dan membawanya ke rumah sakit terdekat. “Di UGD, tindakan yang saya dapat adalah operasi bahu kiri. Harus operasi untuk mengeluarkan pecahan kaca setebal 3,5 cm yang menancap,” katanya.

Tak kurang dari 12 jahitan ia terima. Tangan Andin juga harus disokong kawat pengikat permanen agar kembali bisa digerakkan. Bukan hanya itu, kakinya juga mengalami cedera serius. Namun Andin menolak dirawat inap. Saat kakaknya datang ke rumah sakit, ia bersikeras pulang ke rumah.

“Saat sampai di rumah ternyata sudah banyak orang, termasuk Kapolsek di rumah saya. Mereka menyuruh saya untuk dirawat di rumah sakit. Tetapi saya tetap tidak mau. Karena menurut saya, tempat teraman adalah di rumah bersama keluarga,” ucapnya.

Pergulatan Batin, Depresi, dan Percobaan Bunuh Diri

Selama 3 bulan pascakejadian ia tak bisa berjalan. Telinga sebelah kirinya juga tak pernah lagi bisa mendengar sempurna seperti sedia kala hingga kini. Namun bagi Andin, segala luka fisik yang ia alami tak sebanding dengan luka psikis yang ia derita. Ia sempat mengalami halusinasi, depresi, trauma, hingga paranoid. Ia seolah selalu didekap oleh perasaan takut. “Ada momen saat saya nggak mau keluar rumah, saya takut dengan dunia luar,” ungkapnya.

Andin menyebut masa-masa itu adalah titik terendah dalam hidupnya. Ia merasa sangat terpuruk, bahkan sempat tiga kali mencoba bunuh diri. “Saya sempat mau bunuh diri, karena efek dari depresi. Merasa hidup tidak berguna,” ujarnya sembari menahan air mata.

Baca juga Negara Madinah: Potret Ideal Pemerintahan Islam

Sulit baginya menerima perubahan dalam hidupnya. Selain tak percaya diri dengan kondisi fisiknya yang tak lagi normal, ia juga terus menerus menyalahkan diri. Seharusnya di saat kejadian ia tak berada di tempat itu. Setiap hendak memejamkan mata, perasaan-perasaan itu datang dan menyiksanya. Psikolog dan psikiater tak memberi banyak pengaruh terhadap kesembuhannya. Selama 8 bulan ia harus mengonsumsi obat penenang. Trauma bahkan membuatnya harus resign dari pekerjaannya karena tak berani melintas di Jalan MH Thamrin.

Menurut Giller, E. dalam tulisannya yang berjudul What Is Psychological Trauma? (1999) mengatasi PTSD merupakan hal yang sulit, sebab kebanyakan saat orang tersebut teringat dengan peristiwa yang menimpanya, ia akan berusaha untuk terus menyingkirkan ingatan tersebut. Padahal respons itu hanya akan memperburuk keadaan. Ingatan tersebut akan tetap bisa muncul, sebagaiamana yang dikatakan oleh Jon Allen, seorang psikolog di Menninger Clinic di Houston, Texas dan penulis Coping with Trauma: A Guide to Self-Understanding (1995) yang mengingatkan kita bahwa semakin kita yakin bahwa kita terancam, maka trauma akan semakin bertambah. Energi mental yang dihabiskan untuk menghindari ingatan itu, menimbulkan kondisi emosi yang meluap-luap dan kondisi yang tak berdaya. Keadaan inilah yang membuat kondisi psiksis Andin saat itu semakin terpuruk dan membuatnya menjadi depresi.

Berdamai dengan Diri Sendiri

Bukan hanya merasakan depresi, Andin juga tersiksa dengan perasaan dendam, amarah dan sakit hatinya terhadap pelaku pengeboman. Ia berulang kali bertanya pada dirinya sendiri “Apa salah saya? Kenapa harus terjadi? Saya bahkan nggak kenal sama mereka. Saat kejadian saya sedang bekerja, mencari nafkah” ucapnya.

Hingga pada suatu waktu, Andin merasa harus melepaskan perasaan-perasaan yang membelenggu dirinya. Ia merasa lelah dengan semua yang ia rasakan. Ia mencoba merenungi yang telah terjadi dan berusaha mengikhlaskan. Ia berupaya berdamai dengan dirinya.

Baca juga Terapi Pemaafan

“Dulu saya selalu menyalahkan diri saya kenapa saya harus ke sana. Kenapa di kafe itu. Kenapa harus jam segitu. Kenapa nggak langsung ke kantor. Saya fight sama diri sendiri, berantem sama diri sendiri. Saya lalu mencoba memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri,” ujarnya.

Pada fase ini, Andin berusaha mengenali emosi dalam dirinya, ia melakukan perenungan-perenungan yang cukup panjang, mencari akar kegelisahannya yang paling dalam, ia tidak berusaha menghindar, melainkan mencoba menerima hingga akhirnya mampu melepaskan. Proses yang dilakukan Andin ini, dalam psikologi sering disebut dengan Sedona Method, sebuah metode terapi yang ditemukan oleh Lester Levenson dan dipopulerkan oleh muridnya Hale Dwoskin (2010). Terapi ini merangsang alam bawah sadar kita untuk mengambil keputusan dan menemukan solusi tepat dengan melakukan monolog. Metode ini yang pada akhirnya memberikan Andin secercah cahaya menuju kebangkitan.

Baca juga Pemuda dan Dakwah di Media Sosial

Proses penerimaan Andin terhadap hal buruk yang menimpanya membuat ia perlahan membuka hatinya untuk bisa memaafkan pelaku pengeboman. Tentu ia melalui proses psikis yang teramat sulit. “Bagaimana memaafkan seseorang yang dengan sengaja melukai saya dan korban-korban yang lain. Bagaimana saya memaafkan pelaku yang sudah mengubah hidup saya dan teman-teman yang lain, hingga kehilangan nyawa, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan pekerjaan, dan masa depan,” kata Andin.

Meski berat, ia mencoba terus berdialog dengan dirinya sendiri sampai pada tahap ia mampu bangkit, menerima kondisinya, dan memaafkan para perlaku. “Dendam buat saya adalah beban. Saya tidak mau membawa beban tersebut seumur hidup saya. Saya harus taruh beban saya sedikit-sedikit. Ada prosesnya. Namun tetap saya nikmati,” tutur Andin.

Ikhlas sebagai Puncak Kebangkitan

Dalam pengalamannya, ikhlas dan maaf adalah obat yang paling manjur. Obat-obatan dan konseling psikis hanya sebagai pelengkap dan pendukung. Intinya adalah hati dan pikiran sendiri. Setelah memaafkan, perasaannya menjadi lebih tenang. Ia mulai bisa menjalani hari-harinya seperti biasa.

“Luka fisik bisa hilang dalam tempo 1-2 bulan. Namun sakit hati itu rasanya membuat saya nggak mau hidup lagi. Saya minder apa lingkungan mau menerima saya dengan kondisi begini, apakah teman-teman saya mau menerima saya. Begitu saya ikhlaskan, semua terasa ringan,” katanya.

Baca juga Pendidikan Perdamaian (Tarbiyah Silmiyah): Memaknai Kembali Tujuan Jihad

Andin mengaku sempat dipertemukan dengan orang tua dari pelaku Bom Thamrin beberapa waktu lalu. Saat itu ia justru menangis dan meminta maaf. “Saya tidak marah, yang harus dilakukan adalah mendokan almarhum. Kan pelakunya sudah mati. Terlepas mereka meminta maaf, saya juga meminta maaf karena sempat membenci,” katanya.

Andin mencoba untuk terus bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk bisa hidup bersama keluarganya, kembali beraktivitas, dan bekerja dengan baik.  Ia ingin mensyukuri setiap detak jantung dan hembusan nafas yang dianugerahkan Allah.

Andaikata suatu saat ia dipertemukan dengan teroris, “terima kasih” adalah kalimat yang ingin diucapkannya. Pelaku telah membuatnya memiliki pengalaman hidup yang bisa ia bagikan dengan orang lain. Terlebih musibah itu telah membuatnya semakin kuat dan bisa mensyukuri setiap detik kehidupan. Baginya, manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi satu atau dua detik berikutnya.

Baca juga Memaafkan dan Membangun Peradaban

Kini, Andin telah mencapai tahap pengampunan. Dari kacamata psikologi, pengampunan adalah ketika seseorang mengambil keputusan secara sadar dan sengaja untuk melepaskan perasaan dendam atau kebencian terhadap seseorang atau kelompok yang telah menyakitinya. Seorang peneliti bernama Dr Frederic Luskin (2003) menyebutkan bahwa ketika seseorang memendam kebencian, tubuhnya mengeluarkan hormon kortisol dan adrenalin, hormon yang membuat cemas dan stress. Maka tidak heran, ketika Andin mencoba memaafkan dirinya sendiri, terlebih lagi memaafkan pelaku, yang ia rasakan kini adalah perasaan damai.

Kondisi fisik Andin memang tak lagi normal seperti sebelumnya, sisa-sisa trauma masih bersemayam dalam jiwanya, namun Andin memilih terus berdamai dan mengikhlaskan. Ia tetap akan berjuang menyembuhkan trauma dalam dirinya. Andin memang pernah terpuruk, tapi ia memilih bangkit dengan melepas beban psikisnya. “Trauma bukan salah saya, tapi untuk sembuh dari trauma adalah tanggung jawab saya,” katanya sembari tersenyum.

Baca juga Memberantas Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *