Revolusi Mental Hendaknya Terwujud dalam Revisi
RUU TERORISME
Revolusi Mental Hendaknya Terwujud dalam Revisi
JAKARTA, KOMPAS – Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan momentum untuk menerapkan revolusi mental dalam substansi perundang-undangan. Negara harus menunjukkan perlindungan kepada para korban aksi teror yang selama ini nyaris tak pernah diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Menurut Direktur Aliansi Indonesia Damai Hasibullah Satrawi, Sabtu (23/4), di Jakarta, perwujudan revolusi mental dalam RUU Antiterorisme harus tercantum dalam dua aspek, yaitu jaminan penanganan korban ditanggung negara dan pemenuhan hak korban tanpa melalui mekanisme birokrasi rumit.
Hasibullah berharap, dua ketentuan tersebut benar-benar dituangkan dalam RUU Antiterorisme yang tengah dibahas di Panitia Khusus DPR. Menurut dia, jaminan penanganan korban menjadi kendala utama penanganan korban ketika terjadi aksi teror, terutama di masa kritis. Masa kritis adalah saat aksi teror terjadi ataupun beberapa saat pasca peristiwa teror.
“Karena belum ada pengaturan terkait jaminan pemerintah, rumah sakit yang menerima korban teror tak memiliki dorongan menangani mereka secepat dan sebaik mungkin. Fasilitas kesehatan umumnya menangani korban setelah ada keterangan resmi pemerintah terkait aksi terorisme,” papar Hasibullah.
Di sisi lain, tambah Hasibullah, UU juga perlu mengatur pemenuhan hak korban, seperti rehabilitasi karena traumatis. Selama ini, korban harus memenuhi tahapan birokrasi yang sulit serta perlu putusan pengadilan untuk mendapatkan haknya sebagai korban. Padahal, negara belum memberikan hak-hak tersebut sejak peristiwa bom Bali I tahun 2002.
“Kami berharap alokasi dana untuk hak-hak korban dapat mudah diberikan, misalnya serupa dengan dana darurat bencana,” katanya, seraya mengusulkan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai instansi yang menanganinya.
Pengamat terorisme Al Chaidar menambahkan, proses pembahasan RUU Antiterorisme perlu didasarkan ideologi untuk melindungi korban. Ia menyarankan, DPR tak ragu mencantumkan hukuman mati bagi individu yang terbukti pelaku teror.
“Hukuman harus tegas. Korban tewas tak bisa dihidupkan lagi, tetapi negara justru menanggung hidup pelaku teror di penjara,” kata Chaidar.
Sumber: Harian Kompas edisi 25 April 2016, di halaman 4 dengan judul “Revolusi Mental Hendaknya Terwujud dalam Revisi”. [AM]